PRINSIP – PRINSIP BERHUBUNGAN DENGAN MEDIA


PR dan Media Massa atau Pers sebagai mitranya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap lembaga/instansi yang menginginkan publisitas dan citra positif, tak dapat meremehkan kemampuan media massa dalam menjangkau dan mempengaruhi khalayaknya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pesan yang disampaikan dalam media adalah elemen fundamental dalam pekerjaan kehumasan.
Apapun media massanya, setiap orang/lembaga yang menggunakannya akan menghadapi dua permasalahan mendasar.

Pertama, media massa merupakan khalayak independen yang memiliki tujuan sendiri, sehingga dapat bersinggungan kepentingan (bahkan berakibat konflik) dengan pencari publisitas.

Kedua, ada kompetensi yang hebat untuk mendapatkan ruang serta waktu yang terbatas dalam media. Benturan kepentingan inilah yang selanjutnya mengakibatkan hubungan kedua profesi ini sering terlihat kurang mesra.

Namun di balik permasalahan tersebut, mau tidak mau, PR dan media massa harus mengakui bahwa faktanya kedua pihak sebenarnya saling membutuhkan satu sama
lain. Dimana lembaga pemerintahan dibutuhkan sebagai sumber berita mereka, sedangkan media massa dibutuhkan lembaga sebagai sarana yang efektif dalam menyampaikan pesan. Meskipun kadang ada saling ketidakpuasan, tetap keduanya hidup dalam sebuah ikatan. Suatu ikatan yang disebut sebagai mutual dependency (saling ketergantungan).
Rasa saling ketergantungan inilah yang selanjutnya mendorong para praktisi PR
untuk menjaga hubungan dengan media massa. Kegiatan yang dikenal dengan nama media relations ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kedua belah pihak, dan membangun keterpercayaan. Tidak ada lagi PR yang menjadi bulan-bulanan pemberitaan Pers, dan tidak adalagi Pers yang diperalat PR untuk memuat pemberitaan yang mencerminkan kebohongan kepada publik.

Walaupun pada dasarnya media relations dilakukan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan media, tetap saja lembaga/instansi mengharapkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dalam usaha ini. Terutama untuk memperoleh publisitas seluas mungkin mengenai kegiatan serta langkah perusahaan yang dianggap baik untuk diketahui publik. Namun dalam prakteknya, tidak semua informasi mengenai kegiatan lembaga dapat dimuat dalam media massa. Sebab seringkali standar yang digunakan oleh wartawan dan para komunikator pemerintah sangat berbeda. Maka tidak heran apabila banyak informasi yang dianggap sebagai kepentingan vital oleh media massa, tersesat dalam gundukan informasi yang dibuat oleh PR lembaga pemerintah, sebab PR mengedepankan sisi lembaga saja. Sedangkan media massa sendiri tentu memiliki harapan-harapan yang harus kita penuhi dalam membangun ikatan saling ketergantungan tadi, yaitu:
1. Harapan agar mendapatkan informasi yang terbaru dari PR dan eksekutif sebuah
organisasi.
2. Reporter juga mengharapkan tidak ada yang disembunyikan dari mereka.
3. Eksekutif, yang mempresentasikan organisasi, diharapkan memberikan informasi lebih cepat dari sumber lainnya.
4. Surat kabar berjuang dengan sungguh-sungguh untuk memasukkan muatan berita sebanyak mungkin dengan ruang yang terbatas. Karena itu, media massa tidak mengharapkan detail yang tidak penting dan tidak menarik bagi pembaca.
5. Ada tenggat waktu terbit dalam surat kabar. Karenanya media massa mengharapkan praktisi PR harus mempertimbangan hal ketepatan waktu dalam pengiriman siaran pers, pemberian informasi, verifikasi, dan sebagainya.
6. Media massa mengharapkan lembaga memberikan pemikiran yang sungguhsungguh dan jelas jenis informasi apa yang akan diberikan kepada mereka. Apakah akan memberikan berita, latar belakang, atau informasi untuk feature.
7. Dan mereka juga mengharapkan untuk disediakan gambar, grafik, atau diagram yang berhubungan dengan organisasi dan dibutuhkan oleh mereka.

Untuk dapat memenuhi harapan media tersebut, maka PR dalam menjalankan media relations-nya dapat menggunakan tiga pendekatan sebagai berikut:
1.Pendekatan Reaktif
Yang harus diperhatikan dalam pendekatan bentuk ini adalah:
a. Simpanlah selalu file yang mengundang perhatian media
b. Pahamilah tenggat waktu/deadline
c. Selalulah siap dan membalas telepon
d. Ingin tahu-lah dan bertanya
e. Tempatkan diri Anda dalam kepentingan reporter
f. Upayakanlah keseimbangan dan tahu cara mendapatkannya
g. Ketahuilah informasi latar belakang yang mana yang membantu
h. Rekamlah pembicaraan Anda
i. Jangan bohong.

2. Pendekatan Proaktif
Yang harus diperhatikan dalam pendekatan bentuk ini adalah:
a. Apakah Anda tahu pesan-pesan yang ingin Anda kirimkan ?
b. Apakah pesan Anda sudah jelas, langsung dan lugas ?
c. Media yang mana yang ingin Anda capai menurut prioritasnya ?
d. Reporter/editor yang mana yang ingin Anda hubungi ?
e. Apa nilai berita dari pesan yang ingin disampaikan
f. Bagaimana harus Anda harus mengemas dan menjual pesan tersebut?
g. Siapa pihak ketiganya, dan apa kata mereka?
h. Apakah Anda menangkap kesan bahwa reporter sedang sibuk atau tidak tertarik?
i. Apakah mereka paham jika mereka tidak tertarik, Anda akan pergi ke media lainnya?

3. Pendekatan interaktif
Pada pendekatan ini, hasil yang maksimal dapat dicapai apabila interaksinya dilakukan secara terus-menerus (on-going). Hal yang harus diperhatikan dalam pendekatan bentuk ini adalah:
a. Diskusikan isu-isu yang mungkin menarik perhatian, bukan hanya berita yang sudah ada
b. Jadilah nara sumber andal; buatlah diri Anda siap untuk berkomentar sebagai
seorang pakar dalam industri Anda
c. Selalulah berpikir dalam terminologi kebutuhan dan tenggat waktu
d. Eksklusifitas harus tergantung kepada subyek, tujuan organisasi, keterbukaan
hukum, serta aturan-aturan lainnya
e. Bicarakanlah penerbitan dan reporter lain, serta bagaimana mereka membuat
pendekatan pada isu-isu lainnya
f. Perhatikan alasan-alasan non-berita yang wajar ketika berhubungan dengan
media
g. Selalulah bicara tentang berita yang relevan dan jangan menyimpang
h. Hindarkan meminta kebaikan; kecuali sekedar saran
i. Sesuaikan pesan dan percakapan Anda dengan kendala waktu yang dimiliki
reporter serta tingkat minat mereka.

Pendekatan interaktif hanya mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Agar kita bisa sukses berkomunikasi dengan media melalui pendekatan ini, maka kerangka komunikasi kita harus didasarkan kepada :
a. Pengetahuan bisnis
b. Pengetahuan tentang pokok masalah
c. Pemahaman tentang berita (berita harus termasa, relevan dan menarik
khalayak)
d. Jaringan internal yang luas untuk mengembangkan dukungan informasi
e. Pengetahuan tentang pakar pihak ketiga sebagai acuan
f. Terkenal karena terbaca dan terdengar luas dalam kegiatan-kegiatan dunia serta dalam berita-berita bisnis
g. Pendekatan yang konsisten dengan harapan manajemen internal
h. Pengalaman praktis, dalam berhubungan dengan media
i. Pengetahuan tentang reputasi dan pengalaman kerja reporter
j. Pemahaman tentang bagaimana bagian tertentu dari suatu media akan meliput berita
k. Kemampuan interpersonal
l. Relationship menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan profesional

Matthew P. Gonring, Vice President dari Corp. Communication USG Corporation, menjelaskan bahwa media relations yang efektif dimulai dari pemahaman terhadap perbedaan kebutuhan dan pendekatan masing-masing media. Meskipun ada ciri-ciri yang unik, namun secara global media itu memiliki ciri khas sebagai berikut :
1. Surat kabar harian, tenggat waktu sangat ketat; butuh sumber yang bisa dikutip, informasi latar belakang serta visual; dibanjiri banyak rilis dan harus memilih sedikit di antaranya untuk dimuat.

2. Surat kabar mingguan, punya staf editorial yang terbatas.; umumnya suka tulisan feature atau tulisan dengan fokus lokal; kadang tergantung kepada matrelease, naskah ber-foto serta foto.

3. Majalah regional/nasional, memiliki sumber daya yang beragam, tergantung kepada luas sirkulasi dan pendapatan iklannya. Staf editornya biasanya membidangi beberapa fokus yang khusus. Mereka sangat membutuhkan akses kepada foto dan kutipan yang bertataran tinggi (high-level).

4. Majalah perdagangan, tenaga editor-nya terbatas, subyeknya terfokus, sangat tergantung kepada penulis lepas dan sumber-sumber luar lainnya. Para profesional suka menulis artikel di sini atau mengajukan studi kasus.

5. Penerbitan dengan minat khusus, memiliki khalayak yang sangat tersegmentasi atas gaya hidup atau minat. Media seperti ini sangat ingin memuaskan khalayaknya, sehingga mereka sangat berkepentingan untuk bicara dengan bahasa/jargon khalayaknya tersebut.

6. Newsletter/warkah warta, biasanya hanya pada satu subyek tertentu saja dan cenderung untuk sangat rinci dengan pendekatan mendalam (in-depth). Mereka umumnya mengasumsikan pembaca telah memiliki pengetahuan sebelumnya atas subyek tersebut.

7. Stasiun televisi, butuh hot-news, berorientasi hiburan dan kadang menampilkan feature. Mereka membutuhkan akses kepada gambar/visual dan selalu ketat dalam tenggat-waktu.

8. Stasiun radio, memiliki staf pendukung yang terbatas dan sangat membutuhkan suara (audio) untuk siaran langsung (on-air)nya.

9. PR Wire, di Indonesia seperti yang dimiliki Antara, sangat membutuhkan fakta dan data yang akurat dan cepat, umumnya berita hot-news dengan sejumlah kecil feature.

10. Internet/on-line service, memungkinkan komunikasi yang segera (instantly) dan interaktif dengan para pelanggan, pemodal, atau karyawan secara global. Perusahaan bisa mendapatkan data serta dapat memperbaruinya menit per menit.

Memahami ciri-ciri media memang dapat memberikan gambaran mengenai perbedaan kebutuhan dan pendekatan masing-masing media. Namun, Rhenald Kasali lebih jauh mensyaratkan kita untuk juga memahami karakteristik dari ‘kuli berita’ itu sendiri. Karakteristik yang harus diingat dari mereka adalah:
1. Wartawan tidak menyukai protokoler
Hampir tidak ada wartawan di dunia ini yang menyukai protokoler. Mereka menginginkan kebebasan keluar masuk untuk memotret, atau keluar masuk menemui siapa saja, tanpa dihalangi oleh sekretaris, ajudan, atau anggota keluarga sumber berita. Sekretaris perusahaan sering kesal dengan wartawan yang mau `nyelonong` saja ke ruang direkturnya, karena wartawan merasa selama ini direksi cukup akrab dengannya di luar kantor. Bila dihambat, wartawan adalah orang yang paling pandai mencari tahu di mana dan kapan waktu yang paling tepat untuk menemui direksi. Tidak dipatuhinya protokol maupun prosedur umumnya karena hal-hal itu dirasakan sebagai hambatan yang tidak netral dan muncul dari orang-orang yang tidak mengerti pekerjaan wartawan.

2. Wartawan dikejar deadline
Wartawan apapun selalu dikejar deadline. Sebelum deadline, wartawan sudahharus menyerahkan laporan tertulisnya kepada editor untuk diproses bersama laporan lainnya. Bila diterjemahkan secara harfiah, deadline berarti garis kematian. Artinya bila lewat waktu yang ditetapkan naskah tidak juga turun atau wawancara tidak didapat, habislah kesempatan untuk menulis. Karena deadline tersebut, wartawan akan mengejar terus sumber beritanya. Bila tidak dapat di kantor, akan dikejar ke lapangan golf. Bila tidak mungkin, sumber berita akan dikejar pada seminar, rumah makan, bahkan di rumah sumber berita pada pagi hari sebelum menuju tempat bekerja. Kadang-kadang wartawan tidak memerlukan jawaban panjang. Sumber berita cukup mengatakan, “Kasus sedang diteliti oleh yang berwajib, dan saya belum bisa memberikan keterangan apa-apa.” Wartawan sudah puas. Tapi kadangkadang wartawan datang dengan setumpuk pertanyaan. Sumber berita memerlukan waktu untuk merumuskan jawaban bersama PR-nya.

3. Wartawan menyukai relationship
Sekali lagi, masih banyak orang tertutup dan takut berhubungan dengan wartawan. Mereka takut wartawan akan mempublikasikan hal-hal yang menyangkut pribadi. Wartawan profesional adalah wartawan yang bisa membedakan mana pekerjaan jurnalistik dan mana yang bukan. Wartawan ingin agar sumber berita tidak hanya menerima wartawan sebagai penulis berita atau sebagai corong perusahaan, tetapi juga sebagai teman diskusi, sahabat, dan anggota keluarga. Pada saat pena hendak digariskan, sahabat wartawan akan mengatakan, “Saya akan memulai dengan menulis X, coba apa 7 pendapat saudara?” garisnya jelas. Hanya dengan persahabatan, keduanya saling memahami bukannya saling menjatuhkan.

4. Wartawan menyukai ekslusifitas
Meski solidaritas pers cukup tinggi, para wartawan saling bersaing untuk mendapatkan berita yang eksklusif. Bila ada konferensi pers, maka wartawan yang jeli akan menyelinap dari kerumunan publik dan melakukan wawancara sendiri di balik panggung dengan sumber-sumber tertentu. Konferansi pers memang menarik minat wartawan, tetapi konferensi pers juga memberikan kesempatan yang sama kepada wartawan, sehingga dianggap kurang menantang. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa untuk memuaskan para pembaca, pendengar, atau pemirsa, jurnalis pada akhirnya dituntut untuk memuat hal-hal yang menarik minat mereka, bukannya apa yang diinginkan oleh praktisi PR. Maka ada kalanya para jurnalis memilih suatu berita yang sama sekali tidak diinginkan oleh para praktisi PR. Musibah atau skandal yang melanda suatu lembaga, merupakan santapan lezat bagi jurnalis, tapi merupakan pil pahit bagi PR lembaga yang bersangkutan. Berita-berita tentang kecelakaan, penyelewengan, atau persengkokolan jelas bukanlah merupakan sesuatu yang menyenangkan. Namun tidak peduli apakah PR itu senang atau tidak, para pembaca memang lebih menyukai berita semacam itu, ketimbang berita yang serius. Oleh sebab itu, PR harus menyadari bahwa para jurnalis tidakselamanya akan menjadi sekutu atau sahabat yang menyenangkan. Ini bukanlah pandangan sinis, melainkan praktisi dan realistis karena ancaman yang timbul dari hubungan dengan media cukup serius, perusahaan memerlukan bantuan PR untuk melindungi figur perusahaan dari kesalahan.

Hal-hal yang dapat dilakukan oleh PR antara lain adalah:
1. Membuat hubungan yang mesra dengan pers
Kesalahan perusahaan umumnya terjadi karena perusahaan baru bergerak menghubungi pers bila perusahaan sudah membutuhkan pers. PR dapat membuka jalan masuk ke media dengan mengenal editor dan wartawan di berbagai media. Bila suatu saat membutuhkan, keduanya dapat segera membantu tanpa melalui prosedur formal yang memakan waktu.

2. Mendidik pimpinan agar bersedia menjadi publik figur
Pihak media akan lebih senang membuat berita bila di perusahaan terdapat publik figur. Bila perusahaan tumbuh besar, tidak dapat dihindari bahwa pemimpin puncaknya akan menjadi publik figur. Selalu saja ada berita yang dapat ditulis oleh wartawan menyangkut perusahaan, mulai dari hobi pimpinan, keluarga, pindah kantor, sampai kerjasama. Masalahnya, banyak di antara mereka yang kurang siap atau kurang mempersiapkan diri sehingga muncul kecurangan. Tugas PR di sini adalah mempersiapkan para eksekutifnya agar tahu kepada siapa mereka berbicara dan apa akibatnya terhadap citra perusahaan secara menyeluruh.

3. Mengatur pertemuan dengan pers
PR dapat menentukan siapa sumber yang layak ditemui oleh wartawan diperusahaannya dan mengatur jadwal untuk wartawan. Bila jam kerja sudah padat, PR dapat mencari jadwal di luar jam kerja. Sebelum wawancara, biasanya humas memperkenalkan keduanya dan membuat suasana kaku hilang (ice breaking). PR dapat berperan sebagai moderator untuk mendampingi sumber berita. Namun bagaimanapun juga, perlu diingat bahwa sumber berita adalah tokoh yang diwawancarai, bukan PR. Karena seringkali dapat disaksikan ulah PR yang bertindak terlalu jauh dengan memborong jawaban yang diajukan. Sikap yang over protected ini sebaiknya dihindari. Latihlah sumber berita untuk menjawab pertanyaan wartawan sebelum wawancara dan jangan memborongnya sekalipun anda lebih tahu jawabannya.
4. Memberitahukan hak-hak sumber berita
Agar sumber berita lebih siap, PR perlu memberitahu hak-hak seorang sumber berita, misalnya hak untuk tidak menjawab, hak untuk merahasiakan referensi atau hak jawab, hak bantah, dan sebagainya.

5. Menyusun strategi wawancara
PR tidak hanya menyiapkan bahan tertulis untuk diberikan sebagai sumber berita kepada pers, tapi juga merancang strateginya. Termasuk di dalamnya adalah merumuskan isu yang hendak dilontarkan, sumber lain yang yang akan diminta turut berpendapat, eksklusivitas media, ruang yang disediakan, suasana
wawancara, dan sebagainya.

Dari rangkaian kegiatan yang dapat dilakukan PR di atas, untuk membina media
relations dengan lembaga, maka dapat dirumuskan hubungan pers, yaitu:
1. Memahami dan melayani media. Seorang praktisi harus mampu menjalin kerjasama dengan pihak media, di mana hubungannya harus bersifat timbal balik dan menguntungkan
2. Membangun reputasi sebagai orang yang dapat dipercaya. PR harus senantiasa siap menyediakan atau memasok materi-materi yang akurat di mana saja dan kapan saja hal itu dibutuhkan. Hanya dengan itu, ia akan dinilai sebagai sumber informasi yang akurat dan dapat dipercaya oleh para jurnalis.
3. Menyediakan salinan yang baik.
4. Bekerja sama dalam penyediaan materi.
5. Menyediakan fasilitas verifikasi (pembuktian kebenaran). Para PR juga perlu memberi kesempatan kepada jurnalis untuk melakukan verifikasi atas setiap materi yang mereka terima. Contoh konkretnya, para jurnalis diizinkan untuk langsung melihat fasilitas atau kondisi-kondisi organisasi yang hendak diberitakan.
6. Membangun hubungan personal yang kokoh. Suatu hubungan personal yang kokoh dan positif hanya akan tercipta serta terpelihara apabila dilandasi oleh keterbukaan, kejujuran, kerja sama, dan sikap saling menghormati profesi masing-masing.

Dari inti hubungan di atas, maka dapat dilihat bahwa mereka menerima berbagai hal, mulai dari informasi, pelayanan serba ramah tamah, keakraban dan sebagainya. Meskipun demikian bukan berarti kalangan humas tidak menerima apa-apa sama sekali. Apa yang diterima oleh para PR memang lebih abstrak, namun tidak kalah pentingnya, yaitu suatu mitra yang akan dapat menunjang berbagai macam kegiatan PR dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kehumasan.

Kalangan media massa akan kehilangan banyak informasi berharga yang penting bagi khalayaknya. Jadi sebenarnya, para praktisi PR itu membantu para editor dan penerbit dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya. Dengan menyajikan segala bantuan kepada kalangan pers, maka para PR akan dapat memetik manfaat berupa dukungan dan berbagai kemudahan dalam menyebarkan berbagai pesan demi menciptakan pengetahuan dan pemahaman khalayak mengenai segala aspek organisasinya. Jika kedepannya harapan ini dapat dipenuhi, maka wajar jika kelak PR lembaga pemerintah akan memperoleh tempat dalam pemberitaan pers, liputan, laporan, tajuk yang objektif, wajar, dan seimbang mengenai hal-hal yang menguntungkan perusahaan. Inilah wujud dari hubungan yang stabil dan berkelanjutan, serta dilandasi oleh rasa saling percaya dan saling menghormati.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

boleh saya tahu buku-buku yang dijadikan acuan dalam tulisan ini apa saja? terima kasih..

Posting Komentar