ETIKA DAN PROFESIONALISME PR
Diposting oleh
Erni Purnamawati
on Senin, 07 Desember 2009
Label:
Public Relations
Kegiatan PR secara umum adalah kegiatan yang berhubungan dengan ‘persepsi’ dan nilai.’ Karena itu memerlukan perhatian pada asas-asas: profesional; obyektif; bermoral dan beretika; efisien; efektif; transparan; akuntabel; dan pelayanan berkualitas. Dengan menjalankan asas tersebut, maka kita akan mampu untuk menjadi aparat Humas pemerintah yang profesional dan handal dalam membentuk reputasi positif lembaga pemerintah yang diwakilinya, sehingga terwujud tata kelola pemerintahan yang baik.
Ketika berbicara mengenai status profesional PR, publik seringkali merujuk pada ke-etis-an aparat tersebut. Lalu apakah Etika itu? Etika adalah standar-standar moral perilaku, atau bagaimana Anda bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak. Etika merupakan sebuah bentuk kompromi antara hak dan tanggung jawab individu. Sebuah ‘sintesis’ dari hak (sebagai ‘tesis’) dan tanggung jawab (sebagai ‘antitesis’). Ketika keduanya dinegasikan maka muncullah etika itu sebagai standar orang dalam berprilaku.
Etika bukanlah hal yang datang dengan sendirinya. Ia merupakan suatu hasil bentukan manusia. Etika diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia agar terjadi interaksi yang harmonis. Dalam prakteknya tak ada etika yang mutlak. Standar etika pun berbeda-beda pada sebuah komunitas sosial, tergantung budaya, norma, dan nilai-nilai yang dianut oleh komunitas tersebut. Baik itu komunitas dalam bentuknya sebagai sebuah kawasan regional, negara, agama, maupun komunitas group. Tak ada etika yang universal.
Perbedaan tersebut bahkan seringkali telah melahirkan bentuk etika baru. Karena
ketika dua komunitas yang memiliki standar/dasar etika yang berbeda berkomunikasi, mereka akan terikat dengan aturan main. Di mana kedua belah pihak dituntut untuk menghormati etika masing-masing, agar komunikasi dapat terhindar dari kegagalan. Hal inilah yang pada akhirnya akan terbentuk etika baru sebagai sebuah bentuk kompromi baru dari dua buah etika yang berbeda. Bagi profesi PR, standar/dasar etikanya mencakup:
1. Sikap profesional
Sikap profesional memiliki prinsip bahwa Anda harus bertindak atas dasar keinginan untuk menciptakan kebaikan diantara kedua belah pihak, baik klien maupun komunitas. Bukan semata - mata untuk mengejar posisi dan kekuasaan.
2. Kepercayaan mutlak, dan tanggung jawab sosial
Untuk menjadi seorang profesional, Anda diharapkan mampu memegang kepercayaan. Kesejahteraan publik atau pimpinan tergantung pada kecakapan dan tindakan Anda. Pimpinan harus mempercayai informasi yang diberikan oleh PR lebih dari siapapun. Sedangkan kehormatan seorang profesional PR mengacu pada keyakinan dan kepercayaan yang diberikan publik, karena perilaku yang benar dan keahlian yang Anda miliki.
Hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Tanggung jawab
Praktisi PR memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan dan fungsinya (by function) serta tanggung jawab terhadap dampak atau akibat dari tindakan pelaksanaan profesi (by profession) tersebut terhadap dirinya, rekan kerja dan profesi, organisasi/perusahaan, dan masyarakat umum lainnya.
2. Kebebasan
Para profesional PR memiliki kebebasan dalam menjalankan profesinya tanpa merasa takut atau ragu-ragu, tetapi tetap memiliki komitmen dan bertanggung jawab dalam batas-batas aturan main yang telah ditentukan oleh kode etik sebagai standar perilaku profesional.
3. Kejujuran
Profesional PR harus jujur dan setia, serta merasa terhormat pada profesi yang disandangnya. Mengakui akan kelemahannya dan tidak menyombongkan diri, serta berupaya terus untuk mengembangkan diri dalam mencapai kesempurnaan bidang keahlian dan profesinya melalui pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Di samping itu, tidak akan ‘melacurkan’ profesinya untuk tujuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, demi tujuan materi semata atau kepentingan sepihak.
4. Keadilan
Dalam menjalankan profesinya, maka setiap profesional memiliki kewajiban dan tidak dibenarkan melakukan pelanggaran terhadap hak, mengganggu milik orang lain, lembaga, atau organisasi, atau mencemarkan nama baik bangsa dan negara. Di samping itu, harus menghargai hak-hak, menjaga kehormatan nama baik, martabat, dan milik bagi pihak lain, agar tercipta saling menghormati dan keadilan secara obyektif dalam kehidupan masyarakat.
5. Otonomi
Dalam prinsip ini, seorang profesional memiliki kebebasan secara otonom dalam menjalankan profesinya sesuai dengan keahlian, pengetahuan, dan kemampuannya, organisasi, dan departemen yang dipimpinnya, untuk melakukan kegiatan operasional atau kerja sama yang terbebas dari campur tangan pihak lain. Apa pun yang dilakukannya adalah merupakan konsekuensi dari tanggung jawab profesi. Kebebasan otonom merupakan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh setiap profesional.
Standar komitmen yang tinggi atas etika dan sikap profesionalisme bagi para praktisi akan membedakan praktisi PR dengan tenaga terlatih lainnya. Kemudian akan menjadikan profesi PR mempunyai nilai lebih dalam pelayanan public interest. Landasannya adalah:
1. Professional Ethics
Perilaku yang profesional didasarkan pada niat baik, merasa diawasi dan dinilai jika melawan kode perilaku. Perasaan ini dapat terwujud, karena dipaksa melalui interpretasi nyata bagi mereka yang menyimpang dari penampilan standar yang diterima.
2. The Imperative of Trust
Hubungan publik atau pimpinan lembaga dengan PR berbeda dengan hubungan mereka dengan penyedia jasa lainnya. Perbedaan dipusatkan pada hubungan berlandaskan kepercayaan. Sewaktu pimpinan mencari jasa profesional, mereka menempatkan dirinya –bukan hanya pikirannya– dalam suatu resiko. Begitu juga dengan publik. Seringkali, mereka mempercayakan dirinya dan keinginannya kepada Anda. Karena itu, pimpinan atau publik dan Anda telah memasuki sebuah hubungan saling percaya, sehingga diharuskan untuk bertindak sebaik mungkin.
3. Professional Privilege
Professional Privilege (hak istimewa) para profesional PR berpondasi pada kepercayaan, keyakinan, dan perilaku yang baik dari publik maupun dari sesama profesional. Untuk melindungi hak masing-masing dalam posisinya di masyarakat, para praktisi membuat kode etik dan standardisasi dalam praktek. Kode etik tersebut
seringkali memiliki kekuatan hukum dan kekuasaan terhadap sanksi negara.
4. Social Responsibility
Para profesional PR juga harus dapat memenuhi kewajiban moral dan harapan dalam masyarakat. Masalah etika ini penting diperhatikan. Karena pada dasarnya, kegiatan PR memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat, terutama apabila dapat menjalankan fungsinya secara efektif, dan sadar akan konsekuensi dari kegiatan yang dijalankannya.
Pengaruh positif yang dapat ditimbulkan akibat dijalankannya kode etik ini adalah:
1. Humas dapat meningkatkan praktek profesionalisme dengan memberikan kode
etik dan memberdayakan perilaku dan kinerja yang bersifat etis dan standar.
2. Humas mampu meningkatkan perilaku dari suatu organisasi dengan menekankan pada kebutuhan akan aspirasi masyarakat.
3. Humas mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyerap aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat.
4. Humas melayani kelompok masyarakat tertentu dan masyarakat lainnya dengan menggunakan komunikasi dan media untuk mengubah informasi yang tidak benar menjadi informasi yang sebenarnya.
5. Humas mempengaruhi tanggung jawab sosialnya dengan mendukung kesejahteraan manusia dengan cara memperbaiki sistem sosial yang disesuaikan dengan perubahan kebutuhan dan lingkungan.
Selain itu, juga terdapat beberapa pengaruh negatif, mungkin terjadi akibat penyalah gunaan etika dalam kegiatan PR, seperti:
1. Humas yang ingin mendapatkan keuntungan dengan mendukung kepentingan
tertentu, kadang-kadang sampai mengorbankan kepentingan masyarakat.
2. Humas ada kalanya membuat kekacauan dalam saluran-saluran komunikasi
dengan membuat informasi menjadi lebih rumit dan membingungkan daripada
bersifat klarifikasi.
3. Humas dapat mengakibatkan rusaknya kredibilitas dan saluran komunikasi
karena dinodai oleh rasa kebencian dan ketimpangan.
Selain pengaruh negatif di atas, seringkali kegiatan-kegiatan yang dilakukan PR berujung pada penuntutan melalui jalur hukum, oleh pihak-pihak yang merasa tidak
puas. Karena itu, PR lembaga pemerintah juga dituntut untuk ’melek’ hukum dalam
melakukan aktifitasnya. Minimal mengetahui dan memahami kegiatan-kegiatan
mereka yang berpotensi dalam pelanggaran hukum. (Dari berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar