5 aturan untuk menangani komplain pelanggan


Internet merupakan sarana yang memudahkan pelanggan yang marah untuk memberikan komplain. Bahkan satu orang saja bisa memberikan dampak besar untuk usaha Anda. Berikut ini adalah cara untuk menghindari efek tersebut.
Selagi internet memungkinkan perdagangan global, media online juga menyediakan megafon global untuk pelanggan yang tidak puas. Dari permasalahan pada kartu kredit di Bank of America sampai komplain produk di Carrefour Indonesia, perusahaan-perusahaan sekarang ini berusaha keras untuk merespon dengan efektif komplain-komplain ini di media sosial.
Dimana letak kesalahan mereka? Dalam kebanyakan kasus, mereka melupakan lima aturan berikut tentang customer service online.

1. Merespon

Gagal merespon walau hanya satu orang pelanggan yang tidak senang akan memberikan dampak yang besar. United Airline, mengetahui hal tersebut saat mereka merusak gitar mahal milik Dave Carroll – dan mengacuhkannya. Dengan 12 juta penonton video YouTube miliknya (Dave Carroll) telah mematahkan sayap dari perusahaan tersebut, memberikan efek negatif yang lebih besar daripada iklan positif bernilai $7 milyar.
Mengacuhkan komplain seorang pelanggan adalah solusi pada abad ke-20. Tanpa internet, satu, bahkan ratusan pelanggan marah tidak akan memberikan efek yang besar. Tentunya, dalam era social media seperti sekarang ini, satu orang dengan gitar yang rusak bisa mengkomplain dihadapan jutaan orang.

2. Menerima dan mengakui kesalahan

Bank of America gagal menerima bahwa kebijakannya merubah biaya kartu debitnya telah membuat jutaan pelanggannya dirugikan. Bahkan setelah banyak kritik telah dikeluarkan, bank tersebut belum mengakui kesalahannya. Sebaliknya, mereka mencoba lagi dengan mengadakan pengadilan online tentang opini publik, dan kalah.
Dimanapun pelanggan Anda berada, Facebook, Twitter, atau situs perusahaan Anda, ingatlah bahwa dunia sedang memperhatikan Anda. Jika Anda benar, selesaikan kasus tersebut dengan cara yang simpel dan professional. Jika Anda salah, akuilah kekeliruan itu dengan jujur.Survey menunjukkan bahwa pelanggan mengagumi eksekutif perusahaan yang bisa menerima kesalahan dan berniat untuk mengeleminasi kesalahan yang sama di masa depan.

3. Tingkatkan hal yang positif

Pada bulan Juni 2010, CEO Apple Steve Jobs telah membuat humasnya tersandung saat merespon komplain-komplain tentang konfigurasi antena iPhone 4. Apple akhirnya mengakui kesalahannya, tapi setelah Steve Jobs menyarankan seorang blogger bahwa pengguna iPhone 4 hanya perlu memegang ponsel tersebut dengan cara yang berbeda, komentar ini tentunya hanya memperbesar arus komplain yang sudah ada.
Seperti Steve Jobs, Anda bangga dengan perusahaan Anda. Kebanggaan bukanlah masalah, tapi jangan sampai Anda melawan balik pelanggan, bisnis adalah bisnis, dan tetap harus seperti itu. Tidak peduli seberapa personal serangan yang datang, jangan terbawa di dalamnya. Jika Anda benar, meresponlah hanya dari sisi yang positif. Jika Anda mencoba untuk menyalahkan pelanggan yang komplain, baik secara langsung maupun tidak, Anda beresiko terdengar seperti penggertak. Menyalahkan orang lain dan mengelak adalah strategi yang dilakukan pihak yang kalah.

4. Meminta Maaf

Saat Anda salah, akuilah kesalahan tersebut dan minta maaflah. Tanpa alasan, tanpa kata ‘tapi’. Permintaan maaf bukanlah kesempatan untuk memperpanjang argumen.
Peraturan dalam meminta maaf di dunia bisnis tidaklah berbeda seperti saat meminta maaf pada pasangan Anda. Satu-satunya yang boleh dilakukan setelah permintaaan maaf adalah berjanji untuk memperbaiki masalah tersebut serta tidak akan mengulanginya – melanjutkan lebih dari itu, maka Anda akan menciptakan lebih banyak masalah dari yang bisa Anda selesaikan.

5. Perkecil skalanya

Menangani komplain dari pelanggan di dunia social media sangat berbeda dengan debat di ruang pengadilan atau kegiatan promosi. Anda kehilangan sebagian besar keuntungan yang dulunya Anda miliki sebagai sebuah perusahaan. Diskusi atau debat mengenai komplain tersebut akan terbuka untuk banyak orang. Anda perlu memperkecil skala diskusi tersebut. Bersikaplah informatif, kasual, dan interaktif. Jangan coba untuk berbicara kepada sekelompok orang sekaligus, tapi berdiskusilah dengan masing-masing pelanggan Anda secara individual.
Jika diacuhkan, komplain melalui dunia online akan merusak hasil kerja keras Anda, atau bahkan mengancam kelangsungan hidup perusahaan Anda di masa depan. Di sisi lain, berikanlah perhatian pada kelima prinsip ini, dan pelanggan Anda, sekarang dan di masa depan, akan mengetahui bahwa perusahaan Anda adalah perusahaan yang mendengarkan pelanggan, mengakui kekurangan, dan mau memperbaiki kesalahannya.

13 Hal yang diinginkan pelanggan Anda



Gunakan fakta-fakta simpel berikut ini untuk membangun hubungan yang kuat dan berjangka panjang dengan pelanggan Anda.

Penjualan bukanlah sekedar transaksi finansial; penjualan adalah pertukaran antara 2 pihak, yang nantinya akan berujung menjadi hubungan bisnis jangka panjang.

Jerry Acuff, seorang yang ahli dalam bidang sales, pernah membuat sebuah daftar yang berisi 13 fakta tentang manusia menurut dirinya.

Jika Anda ingin membangun hubungan yang erat dengan pelanggan Anda, ingatlah fakta-fakta ini:
1. Pelanggan ingin merasa penting.
2. Pelanggan sangat membutuhkan penghargaan.
3. Pelanggan tidak tertarik hanya pada Anda.
4. Pelanggan menginginkan dua hal dalam hidup: kesuksesan dan kebahagiaan.
5. Pelanggan ingin Anda benar-benar mendengarkan mereka.
6. Pelanggan tidak akan merasa memiliki ikatan dengan Anda kecuali mereka berasa bernilai di mata Anda.
7. Pelanggan membeli sesuatu berdasarkan emosi, dan mencari alasan menolak dengan logika.
8. Rata-rata pelanggan memiliki masa perhatian dengan sesuatu hanya dalam waktu yang sangat singkat.
9. Pelanggan menikmati waktu jika bersama dengan orang yang memiliki hobi atau minat yang sama.
10. Pelanggan ingin dipahami oleh Anda.
11. Pelanggan akan tertarik pada orang yang memperlihatkan perhatian secara sungguh-sungguh.
12. Pelanggan suka untuk mengajarkan hal yang mereka pahami.
13. Pelanggan menginginkan bantuan dalam beberapa aspek dari hidup mereka.

Fakta-fakta tentang pelanggan yang ditekankan oleh Jerry di atas juga bisa berlaku untuk siapapun di kehidupan Anda, baik di kantor ataupun di rumah.
Daftar di atas juga bisa menjadi roadmap untuk membuat orang lain lebih bahagia, yang juga merupakan jalan tercepat untuk mencapai sukses.

Tips Membangun Kepercayaan Pelanggan



Tidak akan ada orang yang mau membeli sesuatu dari orang yang tidak mereka percayai. Berikut ini adalah beberapa tips yang bisa Anda gunakan untuk membangun kepercayaan itu

Pelanggan tidak akan membeli dari orang yang tidak mereka percayai. Sayangnya, kebanyakan penjual atau yang lebih kita kenal dengan sebutan sales mendeskripsikan menjual sebagai meyakinkan, membujuk, dan memenangkan pelanggan. Tidak heran banyak pelanggan yang langsung menutup pintu mereka ketika seorang sales mulai berusaha menjual sesuatu.
Kabar baiknya, membangun kepercayaan dalam hubungan bisnis adalah suatu hal yang mudah. Berikut ini akan ditunjukan bagaimana Anda bisa melakukannya:

1. Jadilah diri sendiri
Semua orang di dunia ini pasti pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan dengan salesman, dan banyak orang pernah menghindari salesman karena merasa dimanipulasi. Jadi, daripada Anda berusaha untuk berpura-pura terlihat atau terdengar sebagai orang lain, akan lebih baik jika Anda tetap menjadi diri Anda sendiri apa adanya didepan kolega atau mitra bisnis Anda.

2. Hargailah hubungan yang ada
Jika Anda ingin orang-orang disekitar Anda menghargai hubungan yang tercipta dengan Anda, Anda harus benar-benar percaya bahwa membangun sebuah hubungan merupakan hal yang penting. Anda juga harus percaya bahwa sejujurnya Anda memiliki sesuatu yang berharga untuk ditawarkan dalam membangun hubungan tersebut.

3. Selalu tertarik terhadap orang lain
Orang-orang akan tertarik dengan mereka yang benar-benar menunjukan ketertarikannya terhadap orang tersebut. Rasa ingin tahu terhadap orang lain merupakan elemen yang krusial dalam membangun sebuah hubungan. Memiliki keinginan untuk lebih mengenal orang lain memberikan kesempatan kepada Anda untuk mempelajari hal baru dan menciptakan koneksi baru.

4. Bersikaplah konsisten
Kemampuan pelanggan untuk mempercayai Anda tergantung bagaimana pelanggan melihat sikap Anda, apakah Anda merupakan orang yang konsisten atau tidak. Ketika pelanggan bisa memprediksi dan melihat sikap Anda, mereka akan lebih mudah untuk mempercayai Anda.

5. Carilah kebenaran
Kepercayaan muncul saat Anda berusaha menjual produk Anda dalam tujuan untuk membatu pelanggan, bukan sekedar mencari keuntungan. Jadi, carilah tempat dimana Anda bisa menemukan kesamaan yang dicari antara Anda dan pelanggan. Jangan pernah takut untuk mengatakan bahwa produk Anda bukanlah produk yang tepat untuk pelanggan tersebut, tapi Anda juga harus mengemukakan keuntungan pelanggan tersebut jika berbisnis dengan Anda.

6. Berpikiran terbuka
Jika Anda benar-benar yakin bahwa pelanggan Anda membutuhkan produk Anda, pelanggan terebut malah akan merasa bahwa Anda adalah orang yang berpikiran sempit. Sebaliknya, terbukalah terhadap pendapat dan ide pelanggan anda bahwa pelanggan tersebut juga bisa mendapatkan produk dan pelayanan yang baik di tempat yang lain. Dengan begitu, pelanggan dapat merasakan bahwa Anda tidak hanya mengejar mereka untuk keuntungan Anda semata, tapi juga untuk kepentingan mereka.

7. Berbincanglah dengan sungguh-sungguh
Setiap pertemuan harus menjadi sebuah percakapan, bukan menjadi pidato penjualan Anda terhadap pelanggan. Saat Anda bertemu dengan pelanggan, luangkan lah waktu paling sediikit setengah dari waktu pembicaraan tersebut untuk mendengarkan pelanggan Anda. Tapi pastikan bahwa percakapan itu merupakan percakapan bisnis dan benar-benar mengarah ke masalah bisnis, bukan hanya sekedar percakapan biasa.

8. Bersikaplah profesional
Pelanggan biasanya akan lebih mempercayai orang yang serius dengan apa yang mereka kerjakan, dan memiliki keinginan untuk memahami pekerjaan mereka secara mendalam. Luangkanlah waktu setiap harinya untuk mempelajari lebih dalam tentang pelanggan Anda, industri yang mereka jalani, dan tantangan-tantangan yang mereka hadapi.

9. Tunjukan integritas yang sebenarnya
Milikilah keinginan untuk tampil, walaupun hal itu meruapakan hal yang tidak terkenal. Anda tidak perlu tempil dalam semua hal untuk menjadi terkenal, tapi Anda harus memiliki kemampuan untuk membuat pilihan berdasarkan apa yang Anda yakini. Dan satu hal yang harus Anda ingat, janganlah menjanjikan hal yang tidak bisa Anda lakukan.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa mendapatkan kepercayaan hanyalah salah satu bagian untuk meraih kesuksesan. Anda tetap saja membutuhkan produk yang diinginkan dan dibutuhkan pelanggan Anda, serta kemampuan untuk menambahkan nilali lebih dari produk Anda, bagaimana Anda menyelesaikan masalah, dan sebagainya.
Jika Anda tidak bisa mendapatkan kepercayaan pelanggan Anda, mereka mungkin saja akan membeli produk dari orang lain yang lebih bisa mereka percayai, meskipun produk yang ditawarkan tersebut tidak sebaik produk Anda.

Sumber :  http://startupbisnis.com

Customer Satisfaction or Employee Satisfaction?

angkat-gedung1.jpgMemberikan pelayanan yang memuaskan pelanggan barangkali merupakan pilihan mutlak yang kudu diambil ketika sebuah entitas bisnis hendak melestarikan kejayaannya. Pertanyannya kemudian adalah : langkah strategis apa yang semestinya diambil agar mantra kepuasan pelanggan tak berhenti pada mantra belaka? Dari sejumlah wacana, kita mungkin bisa menyebut beragam item : mulai dari pengembangan visi yang berfokus pada pelanggan; penumbuhan benih-benih inovasi buat menghasilkan high value added products hingga perintisan budaya service excellence, dan juga perampingan proses bisnis untuk mempercepat pelayanan. Lalu, apakah beragam item ini cukup untuk mewujudkan impian tentang satisfied customers? Jawabannya barangkali tidak.
Sebab sepertinya ada satu item yang punya peran kritikal namun sialnya, selama ini acap luput dalam perbincangan mengenai pemenuhan kepuasan pelanggan. Item itu berbunyi begini: untuk memuaskan pelanggan maka hal pertama yang harus Anda lakukan adalah memuaskan karyawan. Dengan kata lain, you can not create satisfied customers without satisfied employees. Proposisi ini sejatinya didukung juga oleh serangkaian studi di berbagai belahan dunia. Penelitian yang dilakukan oleh Dana Jones (1996) misalnya; menunjukkan adanya hubungan yang positif antara customer satisfaction (CS) dengan employee satisfaction (ES). Artinya tingkat kepuasan karyawan Anda berbanding lurus dengan tingkat kepuasan pelanggan yang Anda miliki — semakin puas karyawan Anda, maka semakin tinggi juga tingkat kepuasan pelanggan Anda, dan sebaliknya.

Temuan serupa juga dikenali dan dimanfaatkan oleh Sears Roebuck, sebuah perusahaan retail terkemuka dari USA. Dari survei tahun yang dilakukan, mereka menemukan bahwa rating kepuasan karyawannya amat menentukan tinggi rendahnya rating kepuasan pelanggan mereka, dan pada ujungnya berpengaruh terhadap tingkat profit yang mereka peroleh. Karena itu, pihak top manajemen Sears kemudian meminta setiap store manager-nya untuk peduli dengan kepuasan karyawannya; sebab faktor ini ternyata amat berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan dan juga tingkat profit yang diperoleh tiap outlet-nya.

Melihat fakta-fakta diatas, lalu apa yang mestinya dilakukan? Jawabannya barangkali jelas. Sejumlah inisiatif untuk memuaskan pelanggan yang selama ini telah diusung ramai-ramai perlu juga dibarengi dengan inisiatif untuk memuaskan karyawan. Ibarat merenovasi rumah, Anda tak mungkin hanya merias dinding-dinding luarnya saja; namun juga musti menciptakan desain interior yang cantik untuk memuaskan para penghuninya. Segenap promosi dan reklame tentang gambar pelanggan yang tersenyum puas hanya akan menjadi sebuah parodi manakala itu tak dibarengi dengan sebuah keseriusan untuk memberikan pelayanan yang sempurna kepada para “pelanggan didalam” – yakni barisan para karyawan.

Dalam konteks ini ada sejumlah inisiatif yang layak diusung untuk memuaskan para karyawan; semisal : membangun lingkungan kerja yang kondusif; menawarkan variasi tugas yang challenging; menciptakan career plan yang jelas atau juga menyodorkan paket remunerasi yang atraktif. Bahkan, beberapa perusahaan kelas dunia tak segan mengerahkan segenap energinya untuk benar-benar memberikan “layanan super istimewa” bagi para karyawannnya (lihat tulisan saya sebelumnya tentang bagaimana Google memperlakukan para karyawannya bak seorang raja).

Harapannya, sejumlah inisiatif diatas akan dapat menciptakan barisan satisfied employees yang mampu memberikan pelayanan terbaik dan senyum yang tulus bagi para pelanggannya. Dan bukan senyum yang dipaksakan lantaran ada rasa tidak puas yang mengganjal di benaknya. Pendeknya, hanya barisan karyawan yang puas-lah yang benar-benar akan mampu membuat para pelanggan tersenyum dan bersorak riang.

Bisnis adalah meningkatkan daya tarik


Apple logo Think Different Bisnis adalah meningkatkan daya tarikApa yang Anda rasakan ketika melihat sepuluh anak SD berseragam putih merah dan salah satu anak tersebut berseragam merah-merah, bukan putih merah? Anak berseragam merah-merah itu pasti terlihat aneh dan Anda pasti memperhatikan anak itu bukan? Kemudian ada sepuluh anak berseragam merah merah dan salah satunya memakai topi mahkota emas berbulu cendrawasih. Mana yang menarik perhatian Anda?

Kemudian ada sepuluh anak berseragam merah merah dengan topi mahkota emas berbulu cendrawasih dan salah satu dari mereka memakai gelang kaki dengan lonceng kecil dan selalu bergerak dengan lincah sehingga suara gemerincing selalu terdengar dari setiap gerakannya. Mana yang menarik perhatian Anda?

Ya, itulah watak asli manusia, selalu senang melihat yang aneh aneh, yang unik dan yang tidak biasa-biasa saja. Yang aneh, unik dan beda biasanya selalu menarik perhatian. Begitu pula dengan bisnis kita. Jika Anda sekarang merasa persaingan demikian ketat dan berat, bisa jadi karena Anda menjalankan bisnis Anda dengan cara-cara yang biasa-biasa saja. Monoton dan kuno, sehingga tidak ada yang mau melirik bisnis Anda.

Sampai kapan pun Anda tidak mungkin berharap bisnis tanpa persaingan. Tidak mungkin Anda berdoa agar disamping restoran Anda tidak muncul restoran baru. Atau Anda berharap Pemerintah melarang munculnya bisnis yang sejenis dengan Anda. Tidak mungkin. Untuk menghadapinya yang harus Anda lakukan adalah menikmati persaingan dengan inovasi. Ya, Anda harus kreatif, karena dalam bisnis Anda dituntut untuk meningkatkan daya tarik bisnis Anda dibandingkan yang lain. Caranya, buat sesuatu yang beda, yang unik atau dalam marketing disebut dengan Unique Selling Point, sesuatu yang menarik untuk meningkatkan penjualan Anda dibandingkan pesaing.
Sama-sama usaha fotocopy, tapi Anda selalu menyiapkan copian kliping tips bisnis dan pendidikan anak untuk pelanggan Anda yang diberikan secara gratis. Sama-sama bengkel mobil, tapi Anda memberikan bonus cuci mobil gratis bagi yang ganti oli, meski yang dicuci bagian luarnya saja. Ini sudah memberikan nilai beda, unik dan tentu menarik. Dan ternyata ide-ide seperti ini tidak terbatas jumlahnya, tinggal Anda mau menggali dan mencarinya atau tidak. Intinya buat sesuatu yang berbeda yang membuat pelanggan Anda kaget dan berkata WOW, pasti ia akan bercerita dan kembali mengunjungi Anda. Akibatnya bisnis Anda akan berkembang lebih cepat. Nah, apapun bisnis Anda dan berapapun skalanya hari ini, mulailah menciptakan sesuatu yang unik dan berbeda dalam bisnis Anda. Buat sesuatu yang baru dan buat pelanggan Anda terkesan. Maka, Anda tak akan risau lagi dengan persaingan, karena Anda lebih memiliki daya tarik dibandingkan pesaing-pesaing Anda. Selamat berjuang dalam bisnis![Edy Darmoyo]

Mitos tentang Pelanggan adalah Raja


costumer Mitos tentang Pelanggan adalah RajaPelanggan adalah raja, demikian sebuah pepatah terkenal pernah terdengar. Namun kini ditengah kompleksitas interaksi antara produsen dengan pelanggannya, pepatah itu barangkali tak sepenuhnya sahih. Tak semua pelanggan adalah seperti raja yang mesti diperlakukan dengan manis.
Lalu, bagaimana kita bisa mengidentifikasi bahwa seorang pelanggan memang raja yang kudu dipelihara dengan penuh perhatian, mana pelanggan yang cukup dilayani dengan alakadarnya saja, dan mana pelanggan yang justru harus “dipecat” lantaran hanya bikin bete perusahaan?
Beruntung kini kita mengenal sebuah pendekatan bernama customer value analysis. Melalui pendekatan ini, sejatinya perusahaan mencoba melacak jejak transaksi seorang pelanggan dengan layanan perusahaan, dan kemudian dari jejak itu bisa dianalisa apakah pelanggan tergolong good customers or bad customers?

Beberapa waktu lalu misalnya, salah satu bank swasta terbesar di tanah air, yang produk tabungannya paling banyak memiliki nasabah melakukan customer value analysis. Hasilnya cukup mengejutkan : ternyata hanya sekitar 20 % pelanggannya yang memberikan kontribusi profit hingga 70% bagi bank tersebut. Sementara jutaan pelanggan lainnya hanya memberikan kentungan ala kadarnya. Bahkan nasabah yang saldo tabungannya hanya ratusan ribu rupiah acap hanya merugikan : biaya untuk maintain nasabah ini bisa lebih tinggi dibanding keuntungan yang disumbangkan oleh nasabah tersebut.

Kondisi serupa juga dialami oleh para operator ponsel. Banyak operator yang pusing jika mereka memiliki jutaan pelanggan yang hanya menghabiskan 25 ribu rupiah/bulan untuk pulsa telponnya. Sebab biaya untuk mengelola satu pelanggan-nya mungkin bisa habis di angka yang relatif sama. Dus artinya pelanggan itu tak banyak memberikan keuntungan bagi perusahaan oprerator.

Yang lebih repot adalah jika pelanggan yang sudah kecil nilai transaksinya itu hobinya komplain ke bagian customer service. Ini lebih bikin pening : sebab ongkos bagian customer service untuk melayani pelanggan yang rewel itu bisa kian melambung (biaya telpon, biaya tenaga kerja, biaya waktu yang hilang, dll). Dan ini dia : karyawan bagian CS bisa stress jika terus-terusana harus menghadapi pelanggan yang bawel, dan dalam jangka bisa berdampak negatif bagi produktivitasnya.
Itulah kenapa, beberapa waktu lalu, ada sebuah perusahaan telekomunikasi di luar negeri secara resmi “memecat” ribuan pelanggannya. Sebabnya sederhana : pelanggan ini nilai transaksinya kecil, dan sudah begitu, terlalu banyak menuntut.

Uraian diatas memberikan pesan bahwa memang tidak setiap pelanggan itu adalah raja. Secara lebih rinci, kita mungkin bisa membagi jenis pelanggan menjadi tiga : bad customers, good customers dan great customers.
Contoh bad customers ya seperti yang dikisahkan diatas. Nilai transaksinya kecil dan tak banyak memberikan sumbangan profit bagi perusahaan. Contoh lain adalah pelanggan yang suka ngemplang (ini berlaku bagi jenis layanan yang memakai sistem pembayaran bulanan, misal pembiayaan kredit angsuran motor, rumah, atau pembayaran iuran listrik, dll).
Bad customers juga bisa merujuk pada pelanggan yang tidak begitu care dengan prosedur. Contohnya di industri airline : banyak penumpang airline yang masih mengkatifkan BB-nya meski sudah ada di dalam pesawat (pakenya Blackberry, namun perilakunya masih primitif. Doh.)
Bagi para bad customers ini, proses edukasi yang tekun mungkin perlu dilakoni : tujuannya supaya pelanggan menjadi lebih tertib dalam melakukan pembayaran, dan juga agar mereka kian sadar dengan tanggungjawabnya sebagai konsumen yang cerdas (dan tentu termasuk mematuhi prosedur keselamatan bersama seperti contoh di industri airline diatas).

Good customers mungkin adalah mayoritas tipikal pelanggan yang ada. Mereka memiliki nilai transaksi yang cukup memadai, memiliki respek yang win-win dengan para produsen, dan juga relatif memiliki kepedulian dengan tanggungjawabnya sebagai konsumen yang baik (good consumers).
Great customers adalah mereka yang termasuk pelanggan premium, memiliki nilai transaksi yang amat tinggi, dan mampu memberikan sumbangan besar bagi profit produsen. Dalam dunia perbankan, kita mengenal mereka sebagai priority bank customers. Dalam industri airline, kita menyebutnya frequent flyers.

Bukan itu saja, great customers juga cenderung merupakan pelanggan yang loyal, dan mampu membangun long term and mutual relationship dengan para perusahaan penyedia jasa dan produk.
Pihak perusahaan tentu saja berharap agar mayoritas pelanggan mereka masuk kategori great customers (atau paling tidak good customers). Sebab dengan itu, proses pelayanan terbaik dan kinerja bisnis yang cemerlang bisa terus dirajut dan dikembangkan.[]

Sumber: http://strategimanajemen.net/2011/08/22/mitos-tentang-pelanggan-adalah-raja/#more-1021

5 Fakta Penting Tentang Pelanggan


Dengan hanya mengucapkan terima kasih kepada klien Anda, bahkan hanya dengan telepon untuk sekedar mengucapkan “terima kasih,” dapat meningkatkan bisnis Anda  sebanyak 17%.

Fakta Pelanggan 1
Rata-rata sebuah perusahaan kehilangan 50% pelanggannya setiap 5 tahun sekali. Fakta lain yang sejalan dengan fakta ini adalah biaya untuk menggantikan mereka biasanya bisa 6-7 kali lebih mahal! Dan ini berarti, bahwa Anda mendapatkan manfaat 600% sampai 700% lebih besar untuk uang Anda dengan berinvestasi dalam mempertahankan dan melakukan pemasaran untuk pelanggan Anda yang sekarang daripada mencari pelanggan baru.
Pertanyaan – Berapa banyak Anda berinvestasi saat ini untuk menjaga pelanggan Anda yang sekarang berbanding dengan berapa banyak Anda berinvestasi untuk memperoleh pelanggan baru?

Fakta Pelanggan 2
Untuk setiap bulan bila Anda tidak menghubungi atau berkomunikasi dengan klien Anda, Anda kehilangan 10% dari pengaruh Anda dengan klien tersebut. Itu berarti, bahwa Anda harus berkomunikasi dengan klien Anda setiap bulan, bagaimana pun juga.
Pertanyaan – Berapa banyak Anda bersedia untuk berinvestasi untuk TIDAK kehilangan 10% dari pengaruh Anda dengan klien Anda setiap bulan?

Fakta Pelanggan 3
82% dari seluruh pemilik rumah tidak bisa menyebutkan nama agen real estate mereka, jika mereka membeli rumah mereka lebih dari dua tahun yang lalu. Bayangkan banyaknya penjualan yang hilang! Itu karena mereka tidak pernah mempertahankan hubungan pribadi dengan klien mereka. Dan saya yakin Anda akan setuju, bahwa ini berlaku untuk di banyak bisnis, tidak hanya di real estate saja.
Jadi … Strategi apa yang Anda miliki untuk memastikan Anda mempertahankan hubungan PRIBADI dengan klien Anda? (Pemasaran yang normal tidak cocok disini!)
Berikut adalah kisah yang hebat, yang diceritakan oleh Zig Ziglar. Ini kisah Joe Girard, yang saya rasa pastilah salah satu orang sales terbesar sepanjang masa. Dia jualan mobil. Dan wow, ia benar-benar menjual mobil! Bahkan, dia memegang semua rekor global untuk menjual mobil.
Ini yang dia hasilkan :
Tahun Penjualan
1963 267 mobil/truk
1964 307 mobil/truk
1965 343 mobil/truk
1966 614 mobil
1967 667 mobil
1968 708 mobil
1969 764 mobil
1970 843 mobil
1971 980 mobil
1972 1,208 mobil
1973 1,425 mobil
1974 1,376 mobil
1975 1,360 mobil
1976 lebih dari 1,200 mobil
1977 lebih dari 1,200 mobil
Itu sudah pasti lebih dari sebuah mobil dalam sehari selama lebih dari satu dekade! Bahkan, selama bertahun-tahun, ia menjual LIMA MOBIL SETIAP HARI! tidak ada tim sales yang sebanding dnegan pencapaian ini – mereka semua sales individu. Dan tidak ada “gratisan” – mereka semua benar-benar sales sejati.
Besarnya prestasi ini diluar akal. Joe adalah penjual mobil no satu di Amerika setiap tahun dari 1967-1977.
Apa rahasianya? Well, ada banyak alasan untuk keberhasilannya, tetapi di sini adalah salah satu yang mungkin ingin Anda renungkan.
Setiap bulan Joe mengirim kartu ucapan melalui pos untuk SETIAP pelanggannya. Pelanggannya lama-kelamaan menganggapnya seperti sebagai bagian dari keluarga.
Ini mengarah kepada pertanyaan : Apakah klien Anda berpikir Anda sebagai teman dekat atau anggota keluarga?

Fakta Pelanggan 4
Hanya mengucapkan terima kasih kepada klien Anda, bahkan dengan telepon untuk sekedar mengucapkan “terima kasih,” akan meningkatkan bisnis Anda sebanyak 17%.
Sekedar melakukan beberapa aritmatika mental …. berapakah 17% dari laba Anda saat ini?
Sekarang tanyakan pada diri sendiri beharga tidak untuk mengucapkan terima kasih?
Yang penting di sini adalah, bahwa dalam hubungan seperti ini, Anda seharusnya tidak “menjual.”
Ini bukan tentang penjualan. Ini adalah tentang hubungan.
Jadi … beberapa pertanyaan lagi
Seberapa sering Anda mengucapkan “terima kasih?”
Seberapa sering seharusnya Anda mengatakan “terima kasih?”

Fakta Pelanggan 5
Sesuatu yang lama tapi menarik … Peningkatan 5% pada loyalitas pelanggan akan menghasilkan 20% -80% pada laba Anda
Ada banyak penelitian mengenai hal yang satu ini!
pertanyaan terakhir
Apa yang bisa Anda lakukan dengan kenaikan 20% – 80% laba Anda?

Sumber :  http://startupbisnis.com

Enam Pilar Hubungan Pelanggan-Merek (Brand Customer Relationships)



Hubungan pelanggan-merek (brand-customer relationships), dilihat tidak hanya melalui loyalitas pelanggan melalui pembelian ulang, tetapi juga meliputi perspektif yang luas dari intensitas dan loyalitas yang aktif, persepsi ketertarikan pelanggan, keterlibatan dan ikatan terhadap merek.
Hubungan pelanggan tidak saja dengan perusahaan namun dengan merek yang dipilihnya. Pelanggan yang loyal terhadap merek tertentu pasti mempunyai keterikatan emosional yang mendalam. Hubungan inilah yang terus dipelihara agar perusahaan pemilik merek berupaya membina hubungan tersebut dan pelanggan akan merasa tetap nayamn memilih merek favoritnya. Apa sajakah yang menyebabkan keterikatan hubungan antara pelanggan dengan merek tersebut ?

Martesen Grønholdt memaparkan hubungan pelanggan-merek (brand-customer relationships) tersebut. Hubungan pelanggan-merek (brand-customer relationships), dilihat tidak hanya melalui loyalitas pelanggan melalui pembelian ulang, tetapi juga meliputi perspektif yang luas dari intensitas dan loyalitas yang aktif, persepsi ketertarikan pelanggan, keterlibatan dan ikatan terhadap merek; yang dibangun dari enam pilar nilai merek provider itu diantaranya: kualitas produk (product quality), kualitas pelayanan (service quality), harga (price), janji (promise), keunikan (differentiation), serta kepercayaan dan kredibilitas (trust & credibility).

Pertama, dalam mengembangkan apotek yang menghadirkan layanan kefarmasian guna membangun sebuah hubungan bernilai antara konsumen dengan apotek, diperlukan kualitas produk. Isi kualitas produk ini adalah, produk yang terjamin keasliaanya, jangka waktu kadaluarsa, dan kelengkapan produk; sehingga.provider sebagai penyelia (provider) jasa pengecer obat-obatan, memberikan layanan jasa yang berkinerja (good performance); berkualitas tinggi dibanding jasa provider lain; dan memberikan alternatif layanan yang menyenangkan konsumen (feature product).

Kedua, memberikan kualitas layanan (service quality) yang optimal, seperti kemampuan untuk memberikan perhatian kepada pelanggan (empathy), kemampuan untuk membantu pelanggan dalam memberikan layanan yang tanggap (responsiveness).

Ketiga, harga (price) yang ditawarkan provider, untuk jenis produk yang dijual, merupakan faktor yang dipertimbangkan pelanggan untuk memilih provider mana dalam membeli obat. harga adalah merupakan elemen bauran pemasaran yang menghasilkan pendapatan; kebijakan harga pada merek akan menciptakan asosiasi pada benak konsumen, apakah mahal atau tidak. Dan ketika provider telah memberikan layanan yang optimal, maka indikasi kuat terhadap loyalitas adalah kesediaan untuk membayar dengan harga premium.


Author: Anne Martesen dan Lars Grønholdt.
Source: artikel-manajemen.blogspot.com

Community Relations




Langkah-langkah dalam community relations bagi organisasi nonprofit menurut Demartinis (2004:2-4) yaitu sebagai berikut :
  1. Merumuskan komunitas organisasi dan berbagai kelompok yang ada didalamnya. Organisasi bekerja bersama dengan kelompok-kelompok orang yang memandang organisasi dari perspektif masing-masing yang unik. Cara yang paling tepat untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok utama komunitas adalah dengan membuka interaksi pada komunitas tersebut.
  2. Menentukan tujuan program community relations organisasi, apa yang ingin dicapai organisasi pada masing-masing kelompok dalam komunitas tersebut?
  3. Menyusun pesan yang hendak disampaikan, pesan yang disusun bisa saja berbeda-beda untuk setiap kelompok komunitas dan masing-masing pesan dirancang untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Hal ini mengacu pada “sasaran” pesan pada kelompok khalayak.
  4. Memilih metode yang paling baik dalam penyampaian pesan, pesan bisa disampaikan melalui berbagai bentuk media, bisa disampaikan secara personal atau menyelenggarakan kegiatan khusus, yang terpenting pesan tersebut bisa disampaikan kepada khalayak. Yang perlu diingat adalah semakin penting pesan itu maka akan makin baik bila disampaikan secara pribadi.
  5. Melaksanakan program community relations organisasi, memang membuat perencanaan sangat diperlukan. Namun hendaknya energi tak dihabiskan pada saat perencanaan belaka melainkan yang terpenting, saat rencana itu diimplementasikan.
  6. Menganalisis hasil, apakah program atau kegiatan berhasil? Apakah tujuan yang sudah ditetapkan untuk masing-masing kelompok tercapai? Luangkan waktu cukup memadai untuk menganalisis dampak kegiatan (outcome). Biasanya hasilnya merupakan paduan antara keberhasilan dan kegagalan.
 

Langkah-langkah community relations untuk organisasi bisnis menurut Brown (1998) yaitu sebagai berikut :
  1. Segmentasi, para praktisi PR biasanya membagi ‘publik’ ke dalam publik-publik sasaran. Begitu juga halnya dengan community relations, karena organisasi bisnis tidaklah berhubungan dengan ‘komunitas’ massa yang tunggal melaikan pada sejumlah komunitas yang berbeda-beda.
  2. Skala prioritas, dari sekian banyak komunitas itu tentu mesti dipilih mana yang hendak menjadi sasaran program community relations. Pertimbangan prioritas tersebut biasanya didasarkan pada komunitas yang paling memiliki kekuatan untuk mendukung atau menghambat pencapaian tujuan bisnis organisasi.
  3. Penelitian, setelah komunitasnya dipilih, langkah berikutnya adalah mengetahui bidang perhatian utama di kalangan komunitas yang menjadi sasaran.
  4. Pemuka pendapat pada kelompok sasaran, cara lain untuk mengetahui permasalahan komunitas adalah dengan berbicara pada pemuka pendapatanya. Hasil pembicaraan dengan pemuka pendapat itu akan memberi informasi mengenai masalah-masalah yang dihadapi komunitas.
  5. Penyelarasan, tentu saja setiap komunitas akan memiliki permasalahan dan harapannya masing-masing terhadap organisasi kita. Begitu juga dengan organisasi kita, memiliki tujuan yang berbeda-beda pada tiap komunitas. Karena itu perlu dilakukan penyelarasan.

Peran Public Relations (PR) dalam Membangun Citra Perusahaan melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR)



Oleh M Badri

Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan wacana yang sedang mengemuka di dunia bisnis atau perusahaan. Wacana ini digunakan oleh perusahaan dalam rangka mengambil peran menghadapi perekonomian menuju pasar bebas. Perkembangan pasar bebas yang telah membentuk ikatan-ikatan ekonomi dunia dengan terbentuknya AFTA, APEC dan sebagainya, telah mendorong perusahaan dari berbagai penjuru dunia untuk secara bersama melaksanakan aktivitasnya dalam rangka mensejahterakan masyarakat di sekitarnya.

Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Jeneiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholders. Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ; (1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai keuntungan (Idris, 2005).

Berbagai peristiwa negatif yang menimpa sejumlah perusahaan, terutama setelah reformasi, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi para pemilik dan manajemen perusahaan untuk memberikan perhatian dan tanggung jawab yang lebih baik kepada masyarakat, khususnya di sekitar lokasi perusahaan. Sebab kelangsungan suatu usaha tidak hanya ditentukan oleh tingkat keuntungan, tapi juga tanggung jawab sosial perusahaan. Apa yang terjadi ketika banyak perusahaan didemo, dihujat, bahkan dirusak oleh masyarakat sekitar lokasi pabrik?

Bila ditelusuri, boleh jadi salah satu penyebabnya adalah kurangnya perhatian dan tanggung jawab manajemen dan pemilik perusahaan terhadap masyarakat maupun lingkungan di sekitar lokasi perusahaan. Investor hanya mengeduk dan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di daerah tersebut, tanpa memperhatikan faktor lingkungan. Selain itu, nyaris sedikit atau bahkan tidak ada keuntungan perusahaan yang dikembalikan kepada masyarakat. Justru yang banyak terjadi, masyarakat malah termarginalkan di daerah sendiri.

Kasus terbaru terjadi di Papua yang melibatkan PT Freeport, hingga menimbuklan efek domino dan menyebabkan chaos di daerah yang terkenal dengan potensi sumber daya alamnya tersebut. Di sekitar areal bertambangan yang mengalirkan jutaan Dollar perhari, kehidupan masyarakat masih hidup miskin dan nyaris tak tersentuh perhatian perusahaan. Bahkan berbagai tindakan anarkis ditimpakan kepada mereka saat mengais sisa produksi di areal pembuangan limbah. Kekacauan tersebut seharusnya tidak terjadi bila perusahaan memberikan tanggungjawab sosialnya kepada masyarakat. Sebab seperti dikatakan mantan PM Thailand Anand Panyarachun pada Asian Forum on Coorporate Social Responsibility, 18 September 2003 di Bangkok, “melaksanakan praktik-praktik yang bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sosial akan meningkatkan nilai pemegang saham, dan berdampak pada peningkatan prestasi keuangan serta menjamin sukses yang berkelanjutan bagi perusahaan.”

Pada kenyatannya CSR tidak serta merta dipraktikkan oleh semua perusahaan. Beberapa perusahaan yang menerapkan CSR justru dianggap sok sosial. Ada juga yang berhasil memberikan materi riil kepada masyarakat, namun di ruang publik nama perusahaan gagal menarik simpati orang. Tujuannya mau berderma sembari meneguk untung citra, tetapi malah ‘buntung’. Hal ini terjadi karena CSR dilakukan secara latah dan tidak didukung konsep yang baik.

Tujuan penulisan ini adalah untuk membuat konsep CSR yang efektif dan efisien untuk diaplikasikan oleh perusahaan. Dengan mengumpulkan literatur dari berbagai sumber yang sangat relevan di bidangnya, diharapkan tulisan ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya praktisi dan peminat studi Public Relations.

 
 Studi Pustaka

Public Relations
Public Relations (PR) menurut Jefkins (2003) adalah suatu bentuk komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun ke luar, antara suatu organisasi dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian. PR menggunakan metode manajemen berdasarkan tujuan (management by objectives). Dalam mengejar suatu tujuan, semua hasil atau tingkat kemajuan yang telah dicapai harus bisa diukur secara jelas, mengingat PR merupakan kegiatan yang nyata. Kenyataan ini dengan jelas menyangkal anggapan keliru yang mengatakan bahwa PR merupakan kegiatan yang astrak. Sedangkan British Institite Public Relations mendefinisikan PR adalah keseluruhan upaya yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik (good-will) dan saling pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya.

Pertemuan asosiasi-asosiasi PR seluruh dunia di Mexico City pada bulan agustus 1978, menghasilkan pernyataan mengenai PR sebagai berikut: “Praktik PR adalah sebuah seni sekaligus ilmu sosial yang menganalisis berbagai kecenderungan, memperkirakan setiap kemungkinan konsekuensinya, memberi masukan dan saran-saran kepada para pemimpin organisasi, serta menerapkan program-program tindakan yang terencana untuk melayani kebutuhan organisasi dan kepentingan khalayaknya. Definisi tersebut mencakup aspek-aspek PR dengan aspek-aspek ilmu sosial dari suatu organisasi, yakni tanggungjawab organisasi atas kepentingan publik atau kepentingan masyarakat luas. Setiap organisasi dinilai berdasarkan sepak terjangnya. Jelas bahwa PR berkaitan dengan niat baik (goodwill) dan nama baik atau reputasi (Jefkins, 2003).
Soemirat dan Ardianto (2004) mengklasifikasikan publik dalam PR menjadi beberapa kategori yaitu:
1. Publik internal dan publik eksternal: Internal publik yaitu publik yang berada di dalam organisasi/ perusahaan seperti supervisor, karyawan pelaksana, manajer, pemegang saham dan direksi perusahaan. Eksternal publik secara organik tidak berkaitan langsung dengan perusahaan seperti pers, pemerintah, pendidik/ dosen, pelanggan, komunitas dan pemasok.

2. Publik primer, sekunder, dan marginal. Publik primer bisa sangat membantu atau merintangi upaya suatu perusahaan. Publik sekunder adalah publik yang kurang begitu penting dan publik marginal adalah publik yang tidak begitu penting. Contoh, anggota Federal Reserve Board of Governor (dewan gubernur cadangan federal) yang ikut mengatur masalah perbankan, menjadi publik primer untuk sebuah bank yang menunggu rotasi secara teratur, di mana anggita legislatif dan masyarakat menjadi publik sekundernya.

3. Publik tradisional dan publik masa depan. Karyawan dan pelanggan adalah publik tradisional, mahasiswa/pelajar, peneliti, konsumen potensial, dosen, dan pejabat pemerintah (madya) adalah publik masa depan.

4. Proponent, opponent, dan uncommitted. Di antara publik terdapat kelompok yang menentang perusahaan (opponents), yang memihak (proponents) dan ada yang tidak peduli (uncommitted). Perusahaan perlu mengenal publik yang berbeda-beda ini agar dapat dengan jernih melihat permasalahan.

5. Silent majority dan vocal minority: Dilihat dari aktivitas publik dalam mengajukan complaint (keluhan) atau mendukung perusahaan, dapat dibedakan antara yang vokal (aktif) dan yang silent (pasif). Publik penulis di surat kabar umumnya adalah the vocal minority, yaitu aktif menyuarakan pendapatnya, namun jumlahnya tak banyak. Sedangkan mayoritas pembaca adalah pasif sehingga tidak kelihatan suara atau pendapatnya.

Greener (2002) mengemukakan bahwa PR tidak satu arah arus informasi, ia memiliki dua fungsi peran juga. Dapat, sebagai contoh, membantu membentuk organisasi anda dengan informasi manajemen yang diharapkan, pendapat-pendapat dan hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat ini, dan menerangkan serta memberi nasehat tentang suatu tindakan yang konsekuen. Dalam perannya ini, PR benar-benar merupakan fungsi manajemen, bertugas dengan tanggungjawab menjaga reputasi suatu organisasi ––membentuk, melindungi dan memperkenalkannya.

Berkaitan dengan fungsi manajemen, Hutapea (2000) menjelaskan bahwa PR adalah fungsi manajemen untuk membantu menegakkan dan memelihara aturan bersama dalam komunikasi, demi terciptanya saling pengertian dan kerjasama antara lembaga/ perusahaan dengan publiknya, membantu manajemen dan menanggapi pendapat publiknya, mengatur dan menekankan tanggungjawab manajemen dalam melayani kepentingan masyarakat, membantu manajemen dalam mengikuti, memonitor, bertindak sebagai suatu sistem tanda bahaya untuk membantu manajemen berjaga-jaga dalam menghadapi berbagai kemungkinan buruk, serta menggunakan penelitian dan teknik-teknik komunikasi yang efektif dan persuasif untuk mencapai semua itu.

Untuk implementasi PR secara konkrit di organisasi di masa mendatang, menurut Hubeis (2001) perlu diikuti dengan kegiatan seperti personal development, dan leadership building (konsep pengembangan diri, teknik presentasi yang menarik dan efektif, meningkatkan percaya diri, dan mentalitas sukses); pendirian maupun pemberdayaan pusat data dan informasi untuk mendukung pengembangan program unggulan, yang dimulai dari tahapan mengumpulkan, menyaring, mengolah dan menyebarluaskan informasi; temu aksi (demo, diskusi dan gelar produksi), dalam rangka mengembangkan tingkat komunikasi yang sesuai (intraindividual, interpersonal, intraorganizational dan extraorganizational); pengenalan sikap mitra kerja (teliti, konservatif, berkepala dingin, sensitif, keras dan berpandangan sempit); dan permasalahan yang sedang berkembang di masyarakat, dengan memperhatikan jangkauan media massa yang semakin luas, semakin tinggi tingkat kesadaran pengguna akan haknya terhadap barang atau jasa yang ditawarkan, tingginya mobilitas masyarakat desa ke kota, perubahan iklim politik yang sulit diduga, semakin kritis LSM dalam menyampaikan keluhan konsumen dan adanya produsen pesaing.

Dalam lingkungan bisnis yang berubah, PR ditempatkan pada platform yang lebih tinggi. Kebutuhan perusahaan yang berkembang tidak hanya mengembangkan produk atau jasa, tetapi harus berbuat lebih yakni membina hubungan positif dan konsisten dengan pihak-pihak yang terlibat dengan organisasi. Oleh karena itu, agar berkembang dan berfungsi optimal. PR harus didukung oleh berbagai pihak (Octavia, 2003).

Citra Perusahaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian citra adalah: (1) kata benda: gambar, rupa, gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk; (3) kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi; (4) data atau informasi dari potret udara untuk bahan evaluasi.

Katz dalam Soemirat dan Ardianto (2004) mengatakan bahwa citra adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang , suatu komite, atau suatu aktivitas. Setiap perusahaan mempunyai citra. Setiap perusahaan mempunyai citra sebanyak jumlah orang yang memandangnya. Berbagai citra perusahaan datang dari pelanggan perusahaan, pelanggan potensial, bankir, staf perusahaan, pesaing, distributor, pemasok, asosiasi dagang, dan gerakan pelanggan di sektor perdagangan yang mempunyai pandangan terhadap perusahaan.

Jefkins (2003) menyebutkan beberapa jenis citra (image). Berikut ini lima jenis citra yang dikemukakan, yakni:
1. Citra bayangan (mirror image). Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi––biasanya adalah pemimpinnya––mengenai anggapan pihak luar tentang organisasinya.
2. Citra yang berlaku (current image). Adalah suatu citra atau pandangan yang dianut oleh pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi.
3. Citra yang diharapkan (wish image). Adalah suatu citra yang diinginkan oleh pihak manajemen.
4. Citra perusahaan (corporate image). Adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan sekedar citra atas produk dan pelayanannya.
5. Citra majemuk (multiple image). Banyaknya jumlah pegawai (individu), cabang, atau perwakilan dari sebuah perusahaan atau organisasi dapat memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan organisasi atau perusahaan tersebut secara keseluruhan.

Soemirat dan Ardianto (2004) menjelaskan efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan. Public Relations digambarkan sebagai input-output, proses intern dalam model ini adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan dan output adalah tanggapan atau perilaku tertentu. Berikut ini adalah bagan dari orientasi PR, yakni image building (membangun citra) sebagai model komunikasi dalam PR yang dibuat oleh Soemirat dan Ardianto:

Efektivitas PR di dalam pembantukan citra (nyata, cermin dan aneka ragam) organisasi, erat kaitannya dengan kemampuan (tingkat dasar dan lanjut) pemimpin dalam menyelesaikan tugas organisasinya, baik secara individual maupun tim yang dipengaruhi oleh praktek berorganisasi (job design, reward system, komunikasi dan pengambilan keputusan) dan manajemen waktu/ perubahan dalam mengelola sumberdaya (materi, modal dan SDM) untuk mencapai tujuan yang efisien dan efektif, yaitu mencakup penyampaian perintah, informasi, berita dan laporan, serta menjalin hubungan dengan orang. Hal ini tentunya erat dengan penguasaan identitas diri yang mencakup aspek fisik, personil, kultur, hubungan organisasi dengan pihak pengguna, respons dan mentalitas pengguna (Hubeis, 2001).

Praktisi humas senantiasa dihadapkan pada tantangan dan harus menangani berbagai macam fakta yang sebenarnya, terlepas dari apakah fakta itu hitam, putih, atau abu-abu. Perkembangan komunikasi tidak memungkinkan lagi bagi suatu organisasi untuk menutup-nutupi suatu fakta. Citra humas yang ideal adalah kesan yang benar, yakni sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya. Itu berarti citra tidak seharusnya “dipoles agar lebih indah dari warna aslinya”, karena hal itu justru dapat mengacaukannya (Anggoro, 2002).

Corporate Social Responsibility (CSR)
Definisi CSR menurut World Business Council on Sustainable Development adalah komitmen dari bisnis/perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas. Definisi lain, CSR adalah tanggung jawab perusahaan untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan dan harapan stakeholders sehubungan dengan isu-isu etika, sosial dan lingkungan, di samping ekonomi (Warta Pertamina, 2004).

Sedangkan Petkoski dan Twose (2003) mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis untuk berperan untuk mendukung pembangunan ekonomi, bekerjasama dengan karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal dan masyarakat luas, untuk meningkatkan mutu hidup mereka dengan berbagai cara yang menguntungkan bagi bisnis dan pembangunan.

Di dalam Green Paper Komisi Masyarakat Eropa 2001 dinyatakan bahwa kebanyakan definisi tanggungjwab sosial korporat menunjukkan sebuah konsep tentang pengintegrasian kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan hidup ke dalam operasi bisnis perusahaan dan interaksi sukarela antara perusahaan dan para stakeholder-nya. Ini setidaknya ada dua hal yang terkait dengan tanggungjawab sosial korporat itu yakni pertimbangan sosial dan lingkungan hidup serta interaksi sukarela (Irianta, 2004).

Dalam prinsip responsibility, penekanan yang signifikan diberikan pada kepentingan stakeholders perusahaan. Di sini perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholders perusahaan, menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Sedangkan stakeholders perusahaan dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah karyawan, konsumen, pemasok, masyarakat, lingkungan sekitar, dan pemerintah sebagai regulator. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya (Idris, 2005).

Perusahaan-perusahaan yang memiliki reputasi bagus, umumnya menikmati enam hal. Pertama, hubungan yang baik dengan para pemuka masyarakat. Kedua, hubungan positif dengan pemerintah setempat. Ketiga, resiko krisis yang lebih kecil. Keempat, rasa kebanggaan dalam organisasi dan di antara khalayak sasaran. Kelima, saling pengertian antara khalayak sasaran, baik internal maupun eksternal. Dan terakhir, meningkatkan kesetiaan para staf perusahaan (Anggoro, 2002).

Dalam “Model Empat Sisi CSR” perusahaan memiliki tanggung jawab ekonomis, yaitu berbisnis dan mendapatkan profit. Selain itu, ada tanggung jawab legal, semisal keharusan membayar pajak, memenuhi persyaratan Amdal, dan lain-lain. Di luar itu ada tanggung jawab ethical atau etis. Misalnya perusahaan berlaku fair, tidak membeda-bedakan ras, gender, tidak korupsi, dan hal-hal semacam itu. Sementara yang keempat, tanggung jawab discretionary. Tanggung jawab yang seharusnya tidak harus dilakukan, tapi perusahaan melakukan juga atas kemauan sendiri (Warta Pertamina, 2004).

Fajar (2005) mengatakan perilaku para pengusaha pun beragam, dari kelompok yang sama sekali tidak malaksanakan sampai kelompok yang menjadikan CSR sebagai nilai inti (core value) dalam menjalankan usaha. Dalam pengamatannya, terkait dengan praktik CSR, pengusaha dikelompokkan menjadi empat: kelompok hitam, merah, biru, dan hijau.

Kelompok hitam adalah mereka yang tidak melakukan praktik CSR sama sekali. Mereka adalah pengusaha yang menjalankan bisnis semata-mata untuk kepentingan sendiri. Kelompok isi sama sekali tidak peduli pada aspek lingkungan dan sosial sekelilingnya dalam menjalankan usaha, bahkan tidak memperhatikan kesejahteraan karyawannya.

Kelompok merah adalah mereka yang mulai melaksanakan praktik CSR, tetapi memandangnya hanya sebagai komponen biaya yang akan mengurangi keuntungannya. Aspek lingkungan dan sosial mulai dipertimbangkan, tetapi dengan keterpaksaan yang biasanya dilakukan setelah mendapat tekanan dari pihak lain, seperti masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat. Kesejahteraan karyawan baru diperhatikan setelah karyawan ribut atau mengancam akan mogok kerja. Kelompok ini umumnya berasal dari kelompok satu (kelompok hitam) yang mendapat tekanan dari stakeholders-nya, yang kemudian dengan terpaksa memperhatikan isu lingkungan dan sosial, termasuk kesejahteraan karyawan. CSR jenis ini kurang berimbas pada pembentukan citra positif perusahaan karena publik melihat kelompok ini memerlukan tekanan (dan gertakan) sebelum melakukan praktik CSR. Praktik jenis ini tak akan mampu berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.

Kelompok ketiga adalah mereka yang menganggap praktik CSR akan memberi dampak positif (return) terhadap usahanya dan menilai CSR sebagai investasi, bukan biaya. Karenanya, kelompok ini secara sukarela dan sungguh-sungguh melaksanakan praktik CSR dan yakin bahwa investasi sosial ini akan berbuah pada lancarnya operasional usaha. Mereka mendapat citra positif karena masyarakat menilainya sungguh-sungguh membantu. Selayaknya investasi, kelompok ini menganggap praktik CSR adalah investasi sosial jangka panjang. Mereka juga berpandangan, dengan melaksanakan praktik CSR yang berkelanjutan, mereka akan mendapat ijin operasional dari masyarakat. Kita dapat berharap kelompok ini akan mampu memberi kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.

Kelompok keempat, kelompok hijau, merupakan kelompok yang sepenuh hati melaksanakan praktik CSR. Mereka telah menempatkannya sebagai nilai inti dan menganggap sebagai suatu keharusan, bahkan kebutuhan, dan menjadikannya sebagai modal sosial (ekuitas). Karenanya, mereka meyakini, tanpa melaksanakan CSR, mereka tidak memiliki modal yang harus dimiliki dalam menjalankan usaha mereka. Mereka sangat memperhatikan aspek lingkungan, aspek sosial dan kesejahteraan karyawannya serta melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Kelompok ini juga memasukkan CSR sebagai bagian yang terintegrasi ke dalam model bisnis atas dasar kepercayaan bahwa suatu usaha harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial. Mereka percaya, ada nilai tukar (trade-off) atas triple bottom line (aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial). Buahnya, kelompok ini tidak saja mendapat citra positif, tetapi juga kepercayaan, dari masyarakat yang selalu siap membela keberlanjutan usaha kelompok ini. Tak mengherankan, kelompok hijau diyakini akan mampu berkontribusi besar terhadap pembangunan berkelanjutan.








Membangun Citra Perusahaan Melalui Program CSR

CSR dan Citra Korporat
Dalam News Of PERHUMAS (2004) disebutkan, bagi suatu perusahaan, reputasi dan citra korporat merupakan aset yang paling utama dan tak ternilai harganya. Oleh karena itu segala upaya, daya dan biaya digunakan untuk memupuk, merawat serta menumbuhkembangkannya. Beberapa aspek yang merupakan unsur pembentuk citra & reputasi perusahaan antara lain; (1) kemampuan finansial, (2) mutu produk dan pelayanan, (3) fokus pada pelanggan, (4) keunggulan dan kepekaan SDM, (5) reliability, (6) inovasi, (7) tanggung jawab lingkungan, (8) tanggung jawab sosial, dan (9) penegakan Good Corporate Governance (GCG).

Arus globalisasi telah memicu dinamika lingkungan usaha ke arah semakin liberal, sehingga mendorong setiap entitas bisnis melakukan perubahan pola usaha melalui penerapan nilai-nilai yang ada dalam prinsip GCG, yakni: fairness, transparan, akuntabilitas dan responsibilitas, termasuk tanggung jawab terhadap lingkungan, baik fisik maupun sosial. Berdasarkan pertimbangan nilai dan prinsip GCG, maka dalam rangka meningkatkan citra dan reputasi dan sebagai upaya untuk menunjang kesinambungan investasi, setiap enterprise memerlukan tiga hal:

1. Adil (fair) kepada seluruh stakeholders (tidak hanya kepada shareholders).
2. Proaktif (juga), berperan sebagai agent of change dalam pemberdayaan masyarakat di daerah operasi.
3. Efisien, berhati-hati dalam pengeluaran biaya yang sia-sia terutama untuk penyelesaian masalah yang timbul dengan stakeholders fokus di sekitar daerah operasi.

Corporate Social Responsibility (CSR) telah diuraikan terdahulu bahwa sebagai suatu entitas bisnis dalam era pasar bebas yang sangat liberal dan hyper competitive, perusahaan-perusahaan secara komprehensif dan terpadu melakukan best practices dalam menjalankan usahanya dengan memperhatikan nilai-nilai bisnis GCG, termasuk tanggung jawab terhadap lingkungan, baik fisik (berkaitan dengan sampah, limbah, polusi dan kelestarian alam) maupun sosial kemasyarakatan. Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan diejawantahkan dalam kebijakan Kesehatan Keselamatan Kerja & Lindungan Lingkungan (K3LL) dan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR).

Berdasarkan sifatnya, pelaksanaan program CSR dapat dibagi dua, yaitu :
1. Program Pengembangan Masyarakat (Community Development/CD); dan
2. Program Pengembangan Hubungan/Relasi dengan publik (Relations Development/RD).

Sasaran dari Program CSR (CD & RD) adalah: (1) Pemberdayaan SDM lokal (pelajar, pemuda dan mahasiswa termasuk di dalamnya); (2) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat sekitar daerah operasi; (3) Pembangunan fasilitas sosial/umum, (4) Pengembangan kesehatan masyarakat, (5) Sosbud, dan lain-lain.

Seminar “Corporate-Stakeholder Partnership: Toward Productive Relations” yang diadakan Lead Indonesia bekerjasama dengan Labsosio FISIP UI di Jakarta, 14 Juni 2005 (dalam www.lead.or.id, 2005), menyimpulkan beberapa hal berkaitan dengan pembentukan citra perusahaan yaitu: perlunya kemitraan, siapa saja stakeholders, tiga skenario kemitraan, prasyarat kemitraan yang sukses, dan peran pemerintah dan masyarakat. Pembahasan tersebut menunjukkan bahwa lingkungan bisnis dan sosial yang berubah menuntut perubahan paradigma dan tindakan. Dalam hal ini melihat semakin mendesaknya pengembangan kemitraan yang otentik dan produktif antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat untuk mencapai pembangunan yang adil serta berkelanjutan secara sosial dan lingkungan, berikut penjelasannya:

 

Mengapa Perlu Kemitraan
Kemitraan (partnership) antara korporasi dengan stakeholders menjadi suatu keharusan dalam lingkungan bisnis yang berubah. Pola konvensional ”business as usual” telah menghasilkan keadaan negatif seperti terdesaknya kepentingan publik (“enlightened common interests”), kelangkaan barang jasa publik, dan pencemaran lingkungan. Demikian pula berbagai dinamika sosial yang muncul seperti reformasi, demokratisasi dan desentralisasi menghasilkan stakeholders dan masyarakat yang semakin kiritis. Mereka berupaya meningkatkan taraf hidupnya serta memposisikan diri sebagai subyek dan mitra yang setara. Dalam hal ini, korporasi perlu menginternalisasi masalah eksternal perusahaan secara terencana sehingga dapat mencegah kekagetan dan krisis yang dapat mengancam keberlangsungan kegiatan dan keberadaan korporasi.

Kemitraan dapat menghasilkan solusi antara argumen yang menekankan market atau profit ("the business of business is business" yang memprioritaskan shareholders) dengan argumen moral (atau Corporate Social Responsibility atau CSR yang memperhatikan stakeholders). Dalam hal ini stakeholders termasuk lingkungan yang "diam" ("silent" stakeholders atau flora dan fauna ). Dengan kata lain, kemitraan merupakan suatu investasi—bukan cost—dan dapat menghasilkan win-win solution atau sinergi yang menghasilkan keadilan bagi masyarakat dan keamanan berusaha serta keserasian dengan lingkungan.

 
Siapa Saja Stakeholders
Kemitraan dengan stakeholders ini memerlukan kejelasan dengan definisi stakeholders itu sendiri: siapa saja mereka itu? Terdapat pendapat yang menyatakan pentingnya internal stakeholders dalam setiap perusahaan yakni karyawan yang juga merupakan primary stakeholders terutama dalam usaha manufacturing. Jenis usaha sektor lainnya lebih menekankan komunitas sekitar korporasi seperti dalam usaha ekstraktif (mineral dan tambang). Demikian pula konsumen dalam sektor jasa maupun suppliers dan usaha kecil (UKM) telah pula dipandang sebagai stakeholders. Dalam hal ini peran pemerintah lokal, kabupaten, propinsi dan nasional dianggap pula sebagai stakeholders yang penting.

Pendefinisian stakeholders penting karena dapat menghindarkan penyamaan atau penyederhanaan "Tanggung Jawab Sosial" (CSR) dengan "pengembangan komunitas" atau community development (CD) karena "CSR is beyond or more than CD." Jelaslah bahwa CSR mencakup berbagai kegiatan yang mendukung Good Corporate Governance (seperti ketaatan membayar pajak) dan upaya pecapaian Good Corporate Citizenship. Dalam banyak kasus seringkali CD mendominasi CSR dan terjadi dalam industri ekstraktif dimana peran komunitas lingkungan yang sumberdaya alamnya merasa "terambil" memerlukan pendekatan khusus untuk mencegah konflik.

Hal yang sangat penting dalam kemitraan adalah data dan indikator maupun riset mengenai siapa saja dan aspirasi mereka (stakeholders’ map and dialogue). Sebagai contoh data mengenai komunitas, sumber daya air atau potensi UKM (Usaka Mikro Kecil dan Menengah) akan membantu mengoptimalkan kinerja kemitraan.

Tiga Skenario Kemitraan
Kemitraan antara perusahaan dengan stakeholders dapat mengarah ke tiga skenario: "un-productive," "semi-productive," atau "productive." Skenario "un-productive" akan terjadi jika perusahaan masih berpikir degan pola konvensional yang hanya mengutamakan kepentingan shareholders atau paradigma "the business of business is business." Dalam skenario ini situasi "low trust" terjadi dan tiada stakeholders engagement dimana mereka masih dianggap sebagai obyek dan masalah diluar perusahaan ("eksternalitas") tidak diinternalisasikan. Dalam skenario ini kemitraan dapat saja terjadi namun lebih bersifat negatif dengan stakeholders negatif pula seperti oknum aparat atau preman. Berbagai keadaan negatif dapat terjadi misalnya pemogokan atau "slow-down" oleh buruh, boikot oleh konsumer, blokade oleh komunitas, dan pencemaran lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam dengan sewenang-wenang serta pelanggaran HAM komunitas lokal. Keadaan terburuk yang dapat terjadi adalah terhentinya kegiatan maupun keberadaan perusahaan.

Pola kedua adalah kemitraan yang "semi-produktif" yang bercirikan kepentingan jangka pendek dan belum atau tidak menimbulkan "sense of belonging" di pihak stakeholders. Kerjasama lebih mengandung aspek charity atau Public Relation (PR) dimana stakeholders masih lebih dianggap sebagai obyek. Dengan kata lain, kemitraan masih belum otentik (genuine) dan masih mengedepankan kepentingan diri (self-interest) perusahaan, bukan kepentingan bersama (common interests) antara perusahaan dengan stakeholders. Dengan kata lain, shareholders engagement masih disekitar tahap "low trust."

Kemitraan yang "productive" dan otentik menekankan stakeholders sebagai subyek dan dalam paradigma "common interest." Pola ini dapat saja didukung oleh "resource-based partnership" dimana stakeholders diberi kesempatan menjadi shareholders. Sebagai contoh, karyawan memperoleh saham melalui Employee Stock Ownership Program (ESOP), dan hal ini akan membantu kelancaran produksi. Demikian pula saham untuk komunitas atau pemerintah daerah dapat meningkatkan community security. Kasus Exxon di Blok Cepu menjadi menarik dimana Pemda Bojonegoro direncanakan akan memperoleh 10% saham. Keadaan ini menimbulkan "sense of belonging" dan high-trust serta hubungan sinergis antara subyek-subyek dalam paradigma "common interests."

Ketiga skenario diatas dapat digunakan untuk menganalisis keberadaan kemitraan setiap perusahaan dan jelaslah terlihat bahwa stakeholders dapat saja lebih berperan mempengaruhi kehidupan perusahaan dibandingkan dengan shareholders. Dengan kata lain, dinamika saham (share) di bursa saham dapat sangat dipengaruhi oleh dinamika stakeholders di lapangan.

Prasyarat Kemitraan yang Sukses
Program kemitraan yang sukses atau "productive" dimulai dengan adanya kehendak yang kuat dan tulus dari pimpinan di perusahan dan kelompok stakeholders. Di pihak perusahaan, diperlukan adanya komitmen dari pimpinan perusahaan (CEO) yang berupaya tanpa henti untuk mengubah paradigma konvensionl (self-interest) ke paradigma baru (enlightened common interests). Kemitraan yang sukses dapat pula didorong oleh komisi atau panel independen (Kasus BP di Tangguh, Papua) yang berfungsi sebagai ombudsman dan melaporkannya pada pimpinan pusat perusahaan. Selain itu perlu meletakkan posisi unit yang mengatur kemitraan (CSR) dalam struktur yang cukup penting dalam perusahaan. Demikian pula staf unit CSR harus mempunyai kompetensi, pengalaman dan kecakapan sosial (social skills) dan bukanlah "orang buangan" di perusahaan. Mereka harus sensitif pada kebutuhan dan kondisi lokal termasuk menghormati simbol, nilai, situs sakral maupun keberadaan pemuka masyarakat. Mencapai kemitraan yang sukses berarti selalu mempelajari dan mengambil manfaat dari berbagai kasus yang gagal atau sukses (best practices) di masa lalu. Selain itu perlu pula sosialisasi pada perusahaan yang masih belum sadar atas pentingnya kemitraan dan CSR.

Peran Pemerintah dan Masyarakat
Keberadaan dan peran perusahaan tidaklah terlepas dari peran pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini peran pemerintah sebagai penjamin keamanan dan penegak hukum serta menciptakan iklim bisnis yang kondusif akanlah sangat menentukan dalam keberlanjutan hidup perusahaan. Selain itu pemerintah dituntut untuk melakukan intervensi pasar melalui pajak, subsidi untuk mendorong penggunaan renewable resources, pengembangan eco-efficiency serta kebijakan distribusi resources yang mengindahkan equity. Pemerintah juga diharapkan untuk berinisiatif membentuk forum stakeholders sebagai wadah kemitraan yang disertai kegiatan dan indikator kinerja yang nyata. Seperti juga perusahaan yang dituntut untuk melakukan CSR maka pemerintah harus pula memenuhi political accountability terhadap warga negara pemberi mandat. Saat ini terdapat pro kontra jika pemerintah daerah kurang berfungsi dan mendorong perusahaan (terutama dalam industri ekstraktif) menjadi quasi government. Di satu pihak, hal ini akan menurunkan kewibawaan dan peran pemerintah namun di lain pihak hal ini merupakan upaya pembelajaran dalam pencapaian good governance. Salah satu ujian penting dari kinerja pemerintah adalah mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah sehingga mendukung segitiga kemitraan dengan perusahaan dan masyarakat.

Demikian juga masyarakat mempunyai peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintah dengan perusahaan. Masyarakat diharapkan menjadi aktif dan mengkoreksi dampak pembangunan, menyampaikan aspirasi publik serta dinamisator keberdayaan publik. Dalam hal ini masyarakat harus dapat pula mengatasi anggotanya yang berperilaku negatif (bad elements of civil society) dengan pembuatan aturan perilaku (code of conducts). Pemberian "mandat sosial" bagi perusahaan untuk beroperasi hendaknya didukung pula oleh "proteksi sosial." Hal ini akan semakin mendesak jika terjadi pemberian saham yang dapat saja menimbulkan konflik di dalam masyarakat sendiri. Dengan kata lain, good governance perlu dikembangkan pula di masyarakat selain di pemerintah dan perusahaan.

Kebijakan Publik untuk CSR

Petkoski dan Twose (2003) mengatakan walaupun agenda CSR saat ini sedang didewasakan, istilah "CSR" belum mengambil banyak peran di sektor publik, baik di negara industri atau negara berkembang. Sebagian pemerintah yang berinisiatif melakukannya dijuluki sebagai “pro-CSR initiatives”, meskipun begitu banyak orang sudah mendukung secara efektif promosi tentang tanggung jawab sosial yang lebih besar. Sebagai contoh, perangsang utama aktivitas sektor publik yang mempromosikan barang ekspor dan barang-barang pendukung atau jasa cukuplah untuk mendapat tambahan devisa, tapi mereka masih mempunyai dampak positif dengan memberi harapan bertanggung jawab produksi.

Para agen sektor publik yang tidak menggunakan ungkapan “corporate social responsibility” tidak melakukan kegiatan apa pun. Tantangannya adalah mengidentifikasi prioritas dan inisiatif dalam kaitan dengan pembangunan lokal dan nasional berdasar pada kapasitas dan inisiatif. Ada satu kesempatan penting bagi sektor publik di negara berkembang untuk memanfaatkan gairah "CSR" sekarang ini, sepanjang berada dalam tujuan dan prioritas kebijakan publik dan mendorong pengakuan keduanya.

Perhatian yang bertumbuh seiring dengan potensi prioritas sektor publik dan CSR pada aktivitas bisnis, paling sedikit mengenai sosial dan praktik manajemen lingkungan ke hulu industri ekstraktif. Hal ini menerima tanpa bukti: bagaimana mungkin kebijakan publik dirumuskan untuk memperkuat kesejajaran, sedangkan kepastian itu menghasilkan intervensi keduanya 'optimal'––baik untuk bisnis dan development––dan 'feasible'––dalam batasan hubungan kelembagaan para agen sektor publik dan pengarah nilai bisnis. Tabel yang dirumuskan World Bank di bawah ini memberikan gambaran potensi kesejajaran antara CSR dalam praktek bisnis serta kebijakan dan tanggungjawab sektor publik.

Penerapan CSR yang Lebih Strategis

Aryani (2006) mencatat bahwa konsep dan praktik CSR sudah menunjukkan gejala baru sebagai keharusan yang realistis diterapkan. Para pemilik modal tidak lagi menganggap sebagai pemborosan. Masyarakat pun menilai sebagai suatu yang perlu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kesadaran sosial kemanusiaan dan lingkungan. Di luar itu, dominasi dan hegemoni perusahaan besar sangat penting peranannya di masyarakat. Kekuasaan perusahaan yang semakin besar, sebagaimana dinilai Dr David Korten, penulis buku When Corporations Rule the World melukiskan bahwa dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi yang paling berkuasa di jagad ini.

Bahkan pengamat globalisasi Dr Noorena Herzt (dalam Aryani, 2006) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan besar di berbagai negara telah mengambil alih secara diam-diam kekuasaan politik dari kalangan politisi. Pengambilalihan secara diam-diam (the silent take over) ini terjadi karena kian ketatnya produk hukum yang menuntut tanggungjawab sosial kaum pemodal. Akibatnya, menurut Noorena, pemodal harus masuk dalam dunia politik agar tidak terus terpojok dengan tuntutan politik pemerintah dan masyarakat. Bahkan menurut Noorena, dalam satu dasawarsa terakhir ini, peranan CSR perusahaan besar sangat berperan di masyarakat ketimbang peranan institusi publik (negara). Memang pada kenyataannya kita tidak bisa mengelak perubahan mendasar dunia sebagaimana dikatakan Noorena tersebut. Dunia telah menjelma realitas di mana kapitalisme menjadi panggung yang absah bagi kehidupan kita. Berpijak pada reel kapitalisme global inilah seluruh tanggung jawab kehidupan umat manusia harus selalu mempertimbangkan kepentingan para pebisnis. Pertimbangan bukan berarti harus tunduk, melainkan harus saling menjaga kepentingan.

Kapitalisme dikatakan Aryani (2006) tidak identik dengan pengerukan modal tanpa pertimbangan sosial. Bahkan untuk era baru sekarang ini, kapitalisme hanya bisa berkembang baik jika bersinergi dengan dunia sosial. Sejalan dengan itu, masyarakat modern sudah menjauh dari sikap anti kapitalisme. Ideologi, baik sosialisme maupun kapitalisme sudah menjauh dari imajinasi orang. Hanya saja karena kapitalisme telah menjadi realitas, maka jalur kehidupan masyarakat mau tidak mau harus melewati reel kapitalisme. Kini orang menyadari bahwa yang terpenting bukanlah ideologi, melainkan sikap kompromi untuk menemukan jalan terbaik. Karena itu, pemerintah tidak boleh tunduk oleh kaum pemodal, sebagaimana kaum pemodal tidak boleh tunduk oleh politisi. Rakyat, pemerintah dan pemodal harusnya berada dalam pihak yang setara merumuskan strategi kebijakan publik untuk kepentingan bersama. Di negara kapitalis, penciptaan ruang publik yang demikian itu sudah berjalan. Bahkan peranan CSR perusahaan sangat menguntungkan pemodal. Pemerintah juga untung karena selain mudah melobi pembayaran pajak juga terbantu tanggungjawab sosialnya kepada rakyat miskin.

Pakar pemasaran Craig Semit (dalam Aryani, 2006) yang merintis pendekatan baru CSR yang dia sebut The Corporat Philanthropy berpendapat bahwa kegiatan CSR harus disikapi secara strategis dengan melakukan alighment (penyelarasan) inisiatif CSR yang relevan dengan produk inti (core product) dan pasar inti (core market), membangun indentitas merek (brand indentity), bahkan lebih tegas lagi untuk menggaet pangsa pasar, melakukan penetrasi pasar, atau menghancurkan pesaing. Kegiatan CSR yang diarahkan memperbaiki konteks korporat inilah yang memungkinkan alighment antara manfaat sosial dan bisnis dari kegiatan CSR yang muaranya untuk meraih keuntungan materi dan keuntungan sosial dalam jangka panjang. CSR tidak haram dipraktikkan, bahkan dengan target mencari untung. Yang terpenting adalah kemampuan menerapkan strategi. Jangan sampai karena CSR biaya operasional justru menggerogoti keuangan. Jangan pula karena praktik CSR masyarakat justru antipati.

Peran PR dalam Implementasi CSR

Idris (2005) mengemukakan sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri di sebuah kawasan, dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholders yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (Sustainability development).

Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholders inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.

Dalam implementasi program-program dalam CSR, diharapkan ketiga elemen di atas saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masing-masing stakeholders agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholders diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan di emban secara bersama.Tapi dalam hal memandang dan menyikapi CSR ke depan, sesungguhnya perlu ada kajian dan sosialisasi yang serius di internal perusahaan dari semua departemen di dalamnya. Paling tidak untuk menyamakan persepsi di antara pelaku dan pengambil kebijakan di dalam satu perusahaan, karena perubahan paradigma pengelolaan perusahaan yang terjadi saat ini, baik ditingkat lokal maupun global, tidak serta merta dipahami oleh pengelola dan pengambil kebijakan di satu perusahaan sehingga pemahaman akan wacana dan implementasi CSR beragam pula, dan otomatis akan mengalami hambatan-hambatan secara internal perusahaan.

Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak azasi manusia (HAM). Bank-bank di Eropa menerapkan kebijakan dalam pemberian pinjaman hanya kepada perusahaan yang mengimplementasikan CSR dengan baik. Sebagai contoh, bank-bank Eropa hanya memberikan pinjaman pada perusahaan-perusahaan perkebunan di Asia apabila ada jaminan dari perusahaan tersebut, yakni ketika membuka lahan perkebunan tidak dilakukan dengan membakar hutan.

Menghadapi tren global dan resistensi masyarakat sekitar perusahaan, maka sudah saatnya setiap perusahaan memandang serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta berusaha membuat laporan setiap tahunnya kepada stakeholders-nya. Laporan bersifat non financial yang dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial, ekonomi dan lingkungannya.

Kemudian diharapkan sosialisasi wacana dan tren CSR ini, tidak hanya bergulir di lingkup manajemen perusahaan tetapi juga kepada semua shareholders dan stakeholders secara luas, agar implementasinya berlangsung secara elegan, dengan harapan perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sebagai komponen shareholders dan stakeholders bisa mengambil peran yang signifikan, untuk mengeliminir resistensi kelompok-kelompok yang senantiasa mengatasnamakan masyarakat untuk melakukan “pemerasan” kepada perusahaan dengan mengusung tema-tema CSR dalam setiap aksinya, tapi tidak mengerti substansi CSR itu sendiri, dan miskin data.

Dalam implementasi CSR ini public relations (PR) mempunyai peran penting, baik secara internal maupun eksternal. Dalam konteks pembentukan citra perusahaan, di semua bidang pembahasan di atas boleh dikatakan PR terlibat di dalamnya, sejak fact finding, planning, communicating, hingga evaluation. Jadi ketika kita membicarakan CSR berarti kita juga membicarakan PR sebuah perusahaan, di mana CSR merupakan bagian dari community relations. Karena CSR pada dasarnya adalah kegiatan PR, maka langkah-langkah dalam proses PR pun mewarnai langkah-langkah CSR.

Irianta (2004) memandang community relations berdasarkan dua pendekatan. Pertama, dalam konsep PR lama yang memosisikan organisasi sebagai pemberi donasi, maka program community relations hanyalah bagian dari aksi dan komunikasi dalam proses PR. Bila berdasarkan pengumpulan fakta dan perumusan masalah ditemukan bahwa permasalahan yang mendesak adalah menangani komunitas, maka dalam perencanaan akan disusun program community relations. Ini kemudian dijalankan melalui aksi dan komunikasi. Kedua, yang memosisikan komunitas sebagai mitra, dan konsep komunitasnya bukan sekedar kumpulan orang yang berdiam di sekitar wilayah operasi organisasi, community relations dianggap sebagai program tersendiri yang merupakan wujud tanggungjawab sosial organisasi.
Dengan menggunakan tahapan-tahapan dalam proses PR yang bersifat siklis, maka program dan kegiatan CSR dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut:

1. Pengumpulan Fakta
Banyak permasalahan yang dihadapi masyarakat sekitar daerah operasional perusahaan. Mulai dari permasalahan lingkungan seperti polusi, sanitasi lingkungan, pencemaran sumber daya air, penggundulan hutan sampai dengan permasalahan ekonomi seperti tingkat pengangguran yang tinggi, sumber daya manusia yang tidak berketerampilan, rendahnya kemauan berwirausaha dan tingkat produktivitas individu yang rendah.

PR bisa mengumpulkan data tentang permasalahan tersebut dari berbagai sumber, misalnya dari berita media massa, data statistik, obrolan warga, atau keluhan langsung dari masyarakat. Selain itu masih banyak sumber yang bisa digunakan untuk mengumpulkan fakta mengenai persoalan sosial yang dihadapi komunitas. PR juga bisa menelusuri laporan-laporan hasil penelitian yang dilakukan perguruan tinggi atau LSM mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat.

2. Perumusan Masalah
Masalah secara sederhana bisa dirumuskan sebagai kesenjangan antara yang diharapkan dengan yang dialami, yang untuk menyelesaikannya diperlukan kemampuan menggunakan pikiran dan keterampilan secara tepat. Misalnya, dari pengumpulan fakta diketahui salah satu masalah yang mendesak dan bisa diselesaikan dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki organisasi adalah rendahnya keterampilan para pemuda sehingga tak bisa bersaing di pasar kerja atau tak bisa diandalkan untuk membuka lapangan kerja bagi dirinya. Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan permasalahan: Rendahnya keterampilan kerja pemuda lulusan sekolah menengah.

Namun tidak semua pemuda tamatan sekolah menengah yang rendah tingkat keterampilan kerjanya yang diidentifikasi sebagai masalah. Namun terbatas pada komunitas sekitar lokasi perusahaan atau di beberapa kota. Jadi, dalam merumuskan masalah tersebut PR mulai memfokuskan pada komunitas organisasi. Bila komunitasnya dirumuskan secara sederhana, berarti komunitas berdasarkan lokasi yakni komunitas sekitar wilayah operasi korporat. Namun bila komunitasnya dipandang sebagai struktur interaksi maka komunitas tersebut lepas dari pertimbangan kewilayahan, tetapi lebih pada pertimbangan kesamaan kepentingan.

3. Perencanaan dan Pemrograman
Perencanaan merupakan sebuah prakiraan yang didasarkan pada fakta dan informasi tentang sesuatu yang akan terwujud atau terjadi nanti. Untuk mewujudkan apa yang diperkirakan itu dibuatlah suatu program. Setiap program biasanya diisi dengan berbagai kegiatan. Kegiatan sebagai bagian dari program merupakan langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan program guna mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.

Kembali kepada perumusan masalah tentang rendahnya keterampilan kerja pemuda lulusan sekolah menengah, maka PR menyusun rencana untuk mencapai tujuan agar para pemuda lulusan sekolah menengah itu memiliki keterampilan kerja yang bisa digunakan untuk mencari kerja atau membuka lapangan kerja bagi dirinya sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, program yang disusun misalnya menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan bagi mereka.

4. Aksi dan Komunikasi
Aspek dari aksi dan komunikasi inilah yang membedakan kegiatan community relations dalam konteks PR dan bukan PR. Di mana watak PR ditampilkan lewat kegiatan komunikasi. PR pada dasarnya merupakan proses komunikasi dua arah yang bertujuan untuk membangun dan menjaga reputasi dan citra organisasi di mata publiknya. Karena itu, dalam program CSR selalu ada aspek bagaimana menyusun pesan yang ingin disampaikan kepada komunitas, serta melalui media apa dan cara bagaimana.

Sedangkan aksi dalam implementasi program yang sudah direncanakan, pada dasarnya sama saja dengan implementasi program apa pun. Kembali pada contoh kasus awal, ketika program pendidikan dan pelatihan keterampilan itu dijalankan, harus ada ruangan, baik untuk penyampaian teori maupun bengkel kerja sebagai tempat praktik. Di situlah aksi pendidikan dan pelatihan dijalankan. Di dalamnya tentu saja ada komunikasi yang menjelaskan kenapa program itu dijalankan, juga masalah tanggungjawab sosial organisasi pada komunitasnya sehingga memilih untuk menjalankan program kegiatan tersebut. Dengan begitu diharapkan akan berkembang pandangan yang positif dari komunitas terhadap organisasi sehingga reputasi dan citra organisasi menjadi baik.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan keharusan pada setiap akhir program atau kegiatan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi program. Berdasarkan hasil evaluasi ini bisa diketahui apakah program bisa dilanjutkan, dihentikan atau dilanjutkan dengan melakukan beberapa perbaikan dan penyempurnaan. Namun dalam konteks community relations perlu diingat bahwa evaluasi bukan hanya dilakukan terhadap penyelenggaraan program atau kegiatan belaka. Melainkan juga dievaluasi bagaimana sikap komunitas terhadap organisasi. Evaluasi atas sikap publik ini diperlukan karena, pada dasarnya community relations ini meski merupakan wujud tanggungjawab sosial organisasi, tetap merupakan kegiatan PR.

Penutup

Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan wacana yang sedang mengemuka di dunia bisnis atau perusahaan. Wacana ini digunakan oleh perusahaan dalam rangka mengambil peran menghadapi perekonomian menuju pasar bebas. Namun kenyatannya CSR tidak serta merta dipraktikkan oleh semua perusahaan. Ada juga yang berhasil memberikan materi riil kepada masyarakat, namun di ruang publik nama perusahaan gagal menarik simpati orang. Hal ini terjadi karena CSR dilakukan secara latah dan tidak didukung konsep yang baik. Sebenarnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri di sebuah kawasan, dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholders yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya.

Ketika kita membicarakan CSR berarti kita juga membicarakan PR sebuah organisasi, di mana CSR merupakan bagian dari community relations. Karena CSR pada dasarnya adalah kegiatan PR, maka langkah-langkah dalam proses PR pun mewarnai langkah-langkah CSR. Dengan menggunakan tahapan-tahapan dalam proses PR yang bersifat siklis, maka program dan kegiatan CSR juga dilakukan melalui pengumpulan fakta, perumusan masalah, perencanaan dan pemrograman, aksi dan komunikasi, serta evaluasi untuk mengetahui sikap publik terhadap organisasi.

Untuk ke depan disarankan agar pengembangan program CSR mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (Sustainability development). Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholders inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.

Daftar Pustaka


Anggoro, Linggar. 2002. Teori dan Profesi Kehumasan. Serta Aplikasinya di Indonesia. Cetakan Ketiga. Bumi Aksara, Jakarta.

Ardianto, Elvinaro dan Sumirat, Soleh. 2004. Dasar-dasar Public Relations. Cetakan Ketiga. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Aryani, Situ Nur. 2006. Penerapan CSR yang Lebih Strategis. Dokumen http://www.bisnis.com/, Sabtu, 01 April 2006.

Fajar, Rudi. 2005. Spektrum Pelaku CSR. Dokumen http://www.swa.co.id/ , Senin, 30 Mei 2005.

Greener, Toni. 2002. Public Relations dan Pembentukan Citranya. Cetakan Ketiga. Bumi Aksara, Jakarta.

Hubeis, Musa. 2001. Publik Relesen sebagai Perangkat Manajemen dalam Organisasi. Makalah Seminar Nasional Peran Public Relations dalam Pembangunan Pertanian Efektif dan Berkesinambungan, yang diselenggarakan oleh PS KMP dan PS MPI, PPS IPB di Hotel Salak, 19 April 2001.

Hutapea, EB. 2000. Public Relations sebagai Fungsi Manajemen. Majalah WIDYA Agustus 2000, No. 179 Tahun XVII.

Idris, Abdul Rasyid. 2005. Corporate Social Responsibility (CSR) Sebuah Gagasan dan Implementasi. Dokumen http://www.fajar.co.id/, 22 November 2005.

Irianta, Yosal. 2004. Community Relations. Konsep dan Aplikasinya. Simbiosa Rekatama Media, Bandung.

Jefkins, Frank. 2003. Public Relations. Edisi Kelima. Direvisi Oleh Daniel Yadin. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Lead Indonesia. 2005. Kemitraan Korporasi-Stakeholders. Report Seminar Corporate-Stakeholder Partnership: Toward Productive Relations Lead Indonesia Bekerjasama dengan Labsosio-Fisip-UI, Jakarta, 14 Juni 2005. Dokumen http://www.lead.or.id/, 27 Oktober 2005.

News of PERHUMAS. 2004. CSR dan Citra Corporate. Dokumen http://www.perhumas.or.id/, 15 - 16 Juni 2004.


Octavia, Sutjiati. 2003. Corporate Public Relation dalam Dunia Usaha. Majalah Bank & Manajemen, Mei – Juni 2003.

Petkoski, Djordjija and Twose, Nigel (Ed). 2003. Public Policy for Corporate Social Responsibility. Jointly sponsored by The World Bank Institute, the Private Sector Development Vice Presidency of the World Bank, and the International Finance Corporation. Document of http://info.worldbank.org/ July 7–25, 2003.