Catatan Waktu Kampanye Presiden

Mencermati (ciee…bahasanya berasa jadi Rhenald Kasali)  iklan kandidat presiden yang berebut  mengklaim suatu isu, mau tidak mau pikiran terbetot  pada suatu diskusi pada  20 an di salah  satu ruangan perkuliahan  lantai 2 Kampus Fikom Unpad – Sekelola. Dalam mata kuliah periklanan aku sempat mencatat mengenai strategi beriklan dimana salah satunya adalah melakukan pengukuhan brand dengan memanfaatkan brand kompetitornya. Salah satu contoh yang kurekam dengan baik, salah satu produsen negative film muncul dengan jargon “Seindah Warna Aslinya”, tak lama kemudian kompetornya mengkapanyekan produk dengan kampanye “Lebih Indah Dari Warna Aslinya”.

Sebenarnya tidak masalah sih saling mengklaim karena ada beberapa hal yang malahan masyarakat menjadi diuntungkan. Cuma sampai kapan perang program dan perang kebijakan? Sampai masyarakat menentukan pilihan atau seterusnya ? Syukur kalau dipenuhi tapi bagaimana kalau Cuma janji.

Ada pemain lama yang berusaha menawarkan produk lama dengan sedikit janji lebih berkualitas. Ada juga yang benar-benar baru yang kualitasnya sama sekali belum diuji, hanya berdasarkan track record personalitynya. Ada yang sedang mencitrakan diri sebagai orang yang smart, lembut, ngayomin, cerdas dan image-image lain yang diharapkan memberi nilai tambah.

Cuma kalau  sedikit mau inget-inget teori, efektifitas kampanye selain dikarenakan pesan-pesannya juga dipengaruhi oleh siapa yang menyampaikan (komukator). Tampaknya setiap partai menjadi ketua umumnya sebagai juru bicara sekaligus kandidat presidennya, Hovland, Janis dan Kelley menemukan 3 aspek yang patut dipenuhi oleh komunikator. Pertama, masalah keterpercayaan (Trustwoerthiness). Hal ini berkaitan dengan penilaian masyarakat bahwa orang itu tulus, jujur, bijak dan adil, objektif serta memiliki tanggung jawab social yang tinggi. Untuk mengeteset sederhana. Cukup dengan menjawab apakah orang itu bisa dipercaya ? apakah secara moral dapat diandalkan? Penilaian banyak terkait dengan treck record yang bersangkutan. Ada juga untuk masalah ini memberikan nilai terhadap konsistensi.
Kedua, masalah keahlian. Faktor ini berhubungan dengan anggapan bahwa yang bersanmgkutan berpengetahuan, cerdas, berpengalaman, menguasai skil. Intinya adalah orang tersebut memiliki faktor ini kalau dianggap “mumpuni”.
             
Negeri sangat kompleks ; ya penduduknya, ya agamanya, ya bahasanya, ya masalahnya juga. Apakah semua Pe Er yang menanti para kandidat memenangka Pemilu dapat mereka selesaikan. Bisa ya bisa tidak, yang pasti penyelesaian itu tidak dilakukan sendirian. Perlu dukungan dan perlu kerjasama yang baik.  Dari beberapa pergantian kepemimpinan, seringkali presiden lama mengambil jarak dengan presiden yang menggantikannya. Gak salah kan kalau kita iri dengan Amerika, dimana George Bush  Jr dengan elegant menyerahkan tapuk kepemimpinan kepada Barrack Obama. Seperti siapapun yang memimpin mereka selalu saling mendukung karena yang menjiwainya adalah semangat kebangsaan, kalau harus mengambil oposisi, selalu dalam kerangka yang konstruktif. Di Indonesia ¿ sudah jadi rahasia umum terjadi “perang dingin” antara mantan dan presiden yang menjabat, kalaupun mereka saling mendekat dan duduk satu meja  karena hitungan Pemilu tinggal menunggu hari. Olala...inilah potret negeriku.

0 komentar:

Posting Komentar