Belengu Itu Bernama PERSEPSI


Oleh
Dede meki mekiyanto

Diantara pembaca mungkin ada yang pernah melihat salah satu episode dalam film komedi Mr. Bean ketika Mr. Bean akan mengganti pakaian di pinggir pantai. Pada saat dia akan mengganti pakaian, terdapat seorang lelaki berkacamata hitam sedang duduk di kursi. Mr bean merasa risi karena sesekali si pria berkacamata hitam itu sering mengadapkan wajahnya ke arah Mr. Bean dan Bean menganggap pria tadi melihat dan memperhatikan apa yang dilakukannya. Karena dia merasa perlu untuk ganti pakaian dalam, dengan terpaksa dan meski susah payah Mr. Bean mengganti pakaian dengan triknya dia agar tidak memalukannya dihadapan orang itu. Dan akhirnya setelah bersusah payah Mr. Bean berhasil mengganti pakaian. Akan tetapi seketika itu pula pria berkacamata hitam berdiri dan berjalan menggunakan tongkat. Eh…. Rupanya si pria berkacamata itu Buta alias tidak bisa melihat. He…he….

Scene film sederhana ini mengandung makna bahwa, begitulah yang namanya PERSEPSI atau PRASANGKA. Mr. Bean berprasangka atau berpresepsi bahwa pria itu sering melihat apa yang dia lakukan. Dan ternyata si lelaki itu tidak bisa melihat, bahkan dia tidak tahu bahwa disitu ada Mr. Bean mungkin, lebih lebih lagi apa yang lakukannya. Jika dalam bahasa kita, bean berkata, “ngapain aku susah-susah ganti neh celana, wong orang itu buta kok…”

Pembaca yang budiman, Itulah PERSEPSI. Kadang kita terhanyut dengan persepsi kita sendiri dan sering kali salah.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengambil 2 (dua) resferensi yang membahas tentang Persepsi ini, yaitu dari ESQ Leadership Center dan Harun Yahya (Penulis: Mr. Adnan Octar)

1. ESQ Leadership Centre Model
Salah satu ESQ Model, yang dikeluarkan oleh ESQ training center, menguraikan bahwa “Terdapat 7 hal yang membelenggu potensi diri kita sebagai Hamba Allah, yang selalu menghalangi cahaya Ilahi dalam diri” yaitu :

1 Prasangka Negatif
2 Prinsip Hidup
3 Pengalaman
4 Kepentingan
5 Sudut Pandang
6 Pembanding
7 Literatur (yang melahirkan fanatisme)

Untuk lengkapnya mungkin salah satu sumber bisa dibaca di link ini atau ke Web site ESQ

Coba kita renungkan semua pendapat atau prasangka atau persepsi yang pernah kita utarakan dan yakini, Seberapa banyak pendapat kita itu benar dan seberapa banyak pendapat kita salah? Baik itu benar atau salah, sudah pastinya akan mengacu kepada ketujuh hal di atas.

Contoh yang paling gampang, sesama umat islam, kita sering mangalami perbedaan waktu awal Ramadhan dan perbedaan hari Lebaran, kenapa? Karena masing-masing memiliki literatur masing-masing yang diyakini masing-masing malah dijadikan fanatisme. Sehingga apa yang terjadi? Kesempatan untuk menjalin Kebersamaan umat telah disia-siakan begitu saja oleh sebab suatu persepsi. Padahal Agama mengajarkan kita untuk bersatu dan hidup berjamaah dalam kehidupan.

Contoh lain yang popular adalah dalam dunia politik, tidak sedikit sesama muslim atau sesama agama, mudah bertengkar, menghina, mencaci, membuka aib dan merendahkan saudaranya sendiri hanya karena berbeda kepentingan politik. Tidak sedikit pula terbukti seorang politisi yang pindah dari partai satu ke partai lain lalu pindah lagi ke partai lain, hanya karena merasa kepentingannya tidak sejalan lagi dengan partainya. Sehingga nilai ‘kekhalifahan’ yang sesungguhnya tertanam dalam dunia politik, menjadi tertutup oleh sebab kepentingan, ego, prasangka negatif dll yang pada akhirnya tujuan yang benar sebagai khalifah dengan cara berpolitik sirna oleh sebab belenggu tersebut.

Tidak sedikit kita mendengar sekelompok anak sekolah melakukan tawuran hanya karena fanatisme sekolah, sehingga anak sekolah lain yang sesungguhnya adalah saudara sendiri seiman bisa dibinasakan dengan mudahnya. Dan akibatnya mereka akan merugi dengan sendirinya. Fanatisme itu akan menutup potensi diri untuk berkembang dan melahirkan sifat benci dan perpecahan.

Tidak sedikit sebagian istri yang tidak bersyukur atas keadaan suaminya hanya karena dia lebih mudah membandingkan apa yang diperoleh tetangga atau rekannya daripada dirinya dan suaminya. Sehingga dari belenggu yang suka membanding-bandingkan MENUTUP sifat suka bersyukur dan justru melahirkan sifat Kufur yang jelas-jelas akan mencelakakan diri dan keluarganya.

Dan masih banyak lagi contoh-contohnya yang oleh sebab persepsi yang salah sehingga membuat kita celaka dan merugi, baik dari sisi fisik, ruhani maupun di hari pembalasan.

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang (QS. Al-Hujurat 49:12)


2. Harun Yahya
Dari salah satu literatur dari Harun Yahya, berjudul Timelessness and The reality of fate (Ketiadaan waktu dan relitas takdir) dalam bab-bab awal menjelaskan tetang persepsi.

Persepsi atau prasangka kita terhadap sesuatu, menurutnya ternyata hanya dibatasi oleh 5 indra yang kita miliki. Menurutnya, kita telah tebiasa sejak lahir HANYA oleh 5 indra yang kita miliki. Apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, rasakan, cium dan raba. Misal kita melihat sesuatu, sesungguhnya yang terjadi adalah terjadi pergerakan sinar-sinar elektris dari benda tersebut sampai ke lensa mata kita, dan dilanjutkan ke otak dan kemudian diolahlah berdasarkan database yang telah tersimpan. Begitupun dengan perasa, penciuman, peraba, pedengaran. Apel berwarna merah pun, kita mengatakan merah sebgai akibat pergerakan sinar-sinar elektis yang sampai ke mata, kemudia input ini dibawa ke otak, dan dari hasil memori mengatakan bahwa itu Merah. Andaikan saja dalam perjalanan sinar-sinar elektris itu terdapat halangan atau gangguan yang mengakibatkan informasi ke otak lain, maka otak akan mengatakan warnanya lain pula.

Jadi, respon yang dilakukan setiap insan, baik itu marah, kesal, gembira, senang dan lain-lain yang disebabkan oleh suatu inputan yang diterima mata atau hidung atau kulit atau telinga atau lidah yang telah sampai ke otak dan otak meresponnya sesuai data di otak. Jika jeruk manis membuat orang senang dan jeruk asam membuat orang mencibir atau bahkan marah kepada penjual, maka bukankah itu artinya kita telah tunduk kepada 5 indra? Padahal menurut harun yahya, secara hakikat fisik itu tidak ada. Merah itu tidak ada, asam itu tidak ada yang ada adalah persepsi warna merah, persepsi masam dll.

Dari bahasan dalam Harun Yahya tersebut, mari kita kembangkan dengan beberapa contoh berikut,

Misal ketika seorang pekerja menghampelas kayu, dan menurut perabaannya dia selama dia bekerja, permukaan kayu yang dihasilkannya itu adalah permukaan yang paling halus yang telah diakui menurut sebagian banyak pembeli sebelumnya. Tetapi ketika yang meraba adalah kita, ternyata stimulus yang dimulai dari kulit kita yang masuk ke otak mengatakan bahwa kayu itu belum halus benar. Sehingga dengan mudahnya kita mengkomplen sang tukang untuk lebih menghaluskannya lagi. Dan tentu sang tukang kayu pasti akan kaget, karena menurut dia rabaannya sudah yang paling halus.

Nilai pribadi seseorang bisa dilihat dari respon dari stimulus apa yang telah masuk kepadanya. Baik atau tidaknya pribadi seseorang bisa dilihat salah satunya dari respon yang dia lakukan atau berikan dari suatu stimulus yang terjadi pada dirinya. Sabar, syukur, disiplin, mampu mengendalikan hawa nafsu, dll itu semua merupakan respon diri terhadap suatu kejadian.

Contoh lain misalnya kisah berikut:
Misal ada seorang pemuda bernama Rudi, menerima pemberian jeruk dari Said temannya. Said berniat memberikan jeruk kepada rudi karena Said memiliki 2 jeruk dan berniat untuk berbagi dengan Rudi. Setelah memberikan jeruk, Said pergi karena ada keperluan. Rudi langsung memakan jeruk tadi dan ternyata jeruknya rasanya kecut. Respon yang dilakukan Rudi saat itu dengan mengatakan, “Sialan tuh si Said ngasih jeruk yang kecut gini, ah dasar pelit, kalau ngasih yang manis donk” sambil bersungut-sungut di mengumpat temennya. Pada saat itu Rudi beserta temannya Sardi, dengan santai Sardi berucap kepada rudi, “Sudahlah rud, mending coba makan buah ini neh, buah dari afrika, namanya miracle fruit, coba lah enak lo” lalu rudi memakan buah miracle fruit tersebut. Selang berapa menit ngobrol dengan rudi, Sardi berkata lagi,”Kamu bilang tadi jeruknya kecut? Masa sih? Coba sekali lagi, manis kali? “, Rudi akhirnya nurut, dan dia makan lagi jeruk yang kecut tadi… apa yang terjadi? Rudi berkata, “wah manis juga ya… wah, saya telah mengumpat said lagi, padahal jeruk ini ternyata manis…” Setelah itu di habiskan jeruk dan dalam hati dia mau minta ma’af ke Said.

Kisah sederhana ini merupakan bagaimana kita merespon terhadap suatu stimulus yang bermula dari indera perasa yaitu lidah. Sebegitu mudah orang merespon dengan mengumpat orang lain atau tidak bersyukur hanya karena rasa yang diterima oleh lidah tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Dan dengan sedikit sentuhan perubah rasa di dalam lidah, respon pun berganti dengan seketika. Miracle fruit adalah buah merah dari Afrika Barat yang apa bila kita memakannya terlebih dahulu, akan merubah struktur kimia makan yang kecut menjadi manis di lidah menjadi manis, informasi manis ini akan sampai ke otak dan respon yang akan dijawab oleh otak adalah dengan mengatakan manis. Lihatlah, betapa nilai sesorang bisa berubah hanya karena berubah respon sebagai akibat dari apa yang diterima oleh indera kita berupa stimulus yang berbeda.

Pembaca yang budiman, bagi yang mengerti akan betapa kuatnya suatu persepsi bisa mempengaruhi diri kita, termasuk perbuatan yang akan kita lakukan, maka marilah kita hantarkan pribadi kita untuk menjadi pribadi yang unggul dimana setiap respon yang kita lakukan akibat dari stimulus yang kita terima adalah respon yang baik dan berakhlaq baik dan yang DIINGINKAN TUHAN.

Dengan kita mampu menghindari belenggu-belenggu fikiran, semoga potensi diri menjadi terbuka lebar dan berakhir dengan kebahagiaan hidup tanpa batas.

Yakinilah bahwa semua yang diinginkan Tuhan dari kita adalah segala hal yang keluar dari diri kita bernilai baik.

Jika kita masih sering berpendapat dan berpersepsi salah , maka Berhentilah membanggakan dan memaksakan persepsi kita sendiri. Terutama terhadap anak-anak, dimana mahkluk Tuhan yang masih kecil itu jelas-jelas memiliki persepsi dan frekuensi sendiri, sesuai dengan apa yang mereka maksud, maka sesuaikanlah persepsi dan frekuensi kita kepadanya, bukan kita yang memaksakan persepsi kita kepadanya, tetapi kita yang mesti menyesuaikan dengan persepsi dia. Kadang kita menilai anak kita lelah sekolah karena jam sekolahnya lama, tetapi si anak mungkin bisa jadi senang dan bahagia menjalani sekolahnya meski lama, kenapa kita mesti menghentikan kebahagiaannya di sekolah?

Demikian tulisan ini dibuat, semoga bermanfaat.

Wassalam
Dedemeki

0 komentar:

Posting Komentar