Kabar Dari Surabaya Pos…
Beberapa waktu lalu, sebuah hotel
berbintang lima di Surabaya pernah mengundangwartawan dalam sebuah acara
party di pub hotel tersebut. Target si PR (public relations)mungkin
sederhana saja, ada pemberitaan biasa terkait acara itu. Karena acaranya
heboh,mendatangkan penari seksi yang seluruh tubuhnya dilumuri cokelat,
si PR tidak menyangka pemberitaan di media keesokan harinya malah
melewati target. Foto mandi cokelat itu terpampang menjadi foto pertama
di halaman pertama salah satu media (Mahdi, 2005). Bisa ditebak,
kemudian terjadi kehebohan. Bukan lantaran acara itu sangat istimewa,
karena dimuat cukup besar di halaman pertama, tetapi karena manajemen
hotel itu harus berurusan dengan polisi karena disangka menyelenggarakan
acara yang melanggar kesusilaan. Pihak manajemen kemudian mengambil
kebijakan untuk membatasi hubungan dengan media, dan bukan memberikan
klarifikasi yang memadai tentang peristiwa tersebut. Ilustrasi ini
merupakan salah`satu gambaran media relations yang terjalin antara PR
dan media.
Hubungan yang terjadi bagaikan air laut
di tepi pantai, kadang pasang kadang surut. Kadang mampu memberikan
keuntungan publisitas bagi pihak manajemen, kadang gagal dan berefek
negatif bagi pihak manajemen seperti kasus di atas. Walaupun begitu,
tidak dapat dipungkiri, bila kita berbicara mengenai tugas-tugas
terpenting bagi seorang public relations manager (PRM) atau
officer(PRO), maka media relations merupakan salah satu di antaranya.
Seseorang yang berada di posisi eksekutif ini perlu menjalin komunikasi
yang baik dengan media, dan secara intens membina hubungan dengan
wartawan yang menjadi jembatan pada setiap perusahaan untuk
mengkomunikasikan programnya melalui media.
Dari kepentingan timbal -balik ini,
jelaslah bahwa kedua pihak saling membutuhkan.Namun benarkah hubungan
yang terjadi benar -benar bersifat mutual dependence? Ini yang perlu
untuk tidak dilupakan bahwa di dalam kaitan timbal balik ini,
sesungguhnya PR yang sangat bergantung pada suatu kerjasama dengan
media, karena selain masalah kredibilitas yang dimiliki oleh media
dimana media massa mempunyai arti penting dalam membentuk pendapat
umum(opini publik) atau mengubah suatu sikap publik yang tidak
menguntungkan, sukar bagi PR untukmempunyai sarana media sendiri yang
dapat berfungsi sebagai surat kabar misalnya yang dapat menyampaikan
informasi setiap hari (Mahmud, 1994:95). Hal ini perlu dipahami oleh
praktisi PR mengingat adanya beberapa keterbatasan untuk dapat mencapai
khalayak luar, jika dibandingkan dengan peran media massa. Berkaitan
dengan arti penting media massa dalam membentuk opini publik, media
sering kali dianggap sebagai konstruksi realitas dan bahasa adalah
perangkat dasarnya. Dalam hal ini media massa lazim melakukan 3 (tiga)
tindakan dalam konstruksi realitas dimana hasil akhirnya berpengaruh
kuat terhadap pembentukan makna atau citra tentang suatu realitas.
Pertama, dalam hal pilihan kata atau
simbol (bahasa). Sekalipun media massa hanyabersifat melaporkan, tetapi
jika pemilihan kata, istilah atau sebuah simbol yang konvensional
memiliki arti tertentu di tengah masyarakat, tak pelak akan mengusik
masyarakat tersebut (Sudibyo dkk., 2001:75). Jadi sebuah berita bukan
sekedar informasi tentang fakta. Berita sekaligus menyajikan
interpretasi akan arti dan makna peristiwa.
Kedua, dalam melakukan pembingkaian (
framing) suatu peristiwa, minimal oleh sebab adanya tuntutan teknis,
seperti keterbatasan -keterbatasan kolom dan halaman atau waktu, jarang
ada media yang membuat berita suatu peristiwa secara utuh. Atas nama
kaidah jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar dan rumit, dicoba
disederhanakan melalui mekanisme pembingkaian untuk kepentingan
pemberitaan ini. Komunikator massa seringkali hanya menyoroti hal-hal
yang penting dari suatu peristiwa, dalam arti mempunyai nilai berita
atau minimal penting berdasarkan kebijakan redaksional media yang
bersangkutan. Dari sini mulai dapat dilihat peluang ke arah mana
pembentukan atau formasi sebuah berita akan dibawa oleh sebuah media.
Wacana yang terbentuk pun, sebagai hasil dari sebuah frame, tidak saja
mengindikasikan adanya kepentingan redaksi, tetapi juga bisa
memberitahukan makna atau image yang dikandung dalam wacana tersebut
(Sudibyo dkk, 2001:87).
Ketiga, adalah menyediakan ruang dan
waktu. Justru hanya jika media massa memberi tempat pada sebuah
peristiwa, maka peristiwa itu akan memperoleh perhatian oleh
masyarakat.Pada konteks itu media massa memiliki fungsi sebagai agenda
setter sebagaimana dikenal dalam teori agenda setting. Menurut Melvin de
Fleur dan Sandra Ball -Rokeach, tesis utama teori ini adalah besarnya
perhatian masyarakat terhadap sebuah isu amat tergantung pada seberapa
besar media memberikan perhatian pada isu tersebut. Faktanya konsumen
media jarang membicarakan kasus yang tidak dimuat oleh media, yang boleh
jadi kasus tersebut justru sangat penting untuk masyarakat. Dalam teori
ini media massa dipandang berkekuatan besar dalam mempengaruhi
masyarakat. Apa yang disajikan media, hal itu pulalah yang menjadi
gambaran realitas yang menempel di benak masyarakat. Bila media
menggambarkan sebuah realitas dengan warna merah, niscaya merah jualah
gambaran yang tertanam dalam benak khalayak (Sudibyo dkk.,2001:91).http://blogs.unpad.ac.id/pradita/mencermati-pasang-surut-hubungan-media-massa-dengan-pr/
0 komentar:
Posting Komentar