Belengu Itu Bernama PERSEPSI
Diposting oleh
Erni Purnamawati
on Senin, 31 Mei 2010
Label:
Psikologi Komunikasi
/
Comments: (0)
Oleh
Dede meki mekiyanto
Diantara pembaca mungkin ada yang pernah melihat salah satu episode dalam film komedi Mr. Bean ketika Mr. Bean akan mengganti pakaian di pinggir pantai. Pada saat dia akan mengganti pakaian, terdapat seorang lelaki berkacamata hitam sedang duduk di kursi. Mr bean merasa risi karena sesekali si pria berkacamata hitam itu sering mengadapkan wajahnya ke arah Mr. Bean dan Bean menganggap pria tadi melihat dan memperhatikan apa yang dilakukannya. Karena dia merasa perlu untuk ganti pakaian dalam, dengan terpaksa dan meski susah payah Mr. Bean mengganti pakaian dengan triknya dia agar tidak memalukannya dihadapan orang itu. Dan akhirnya setelah bersusah payah Mr. Bean berhasil mengganti pakaian. Akan tetapi seketika itu pula pria berkacamata hitam berdiri dan berjalan menggunakan tongkat. Eh…. Rupanya si pria berkacamata itu Buta alias tidak bisa melihat. He…he….
Scene film sederhana ini mengandung makna bahwa, begitulah yang namanya PERSEPSI atau PRASANGKA. Mr. Bean berprasangka atau berpresepsi bahwa pria itu sering melihat apa yang dia lakukan. Dan ternyata si lelaki itu tidak bisa melihat, bahkan dia tidak tahu bahwa disitu ada Mr. Bean mungkin, lebih lebih lagi apa yang lakukannya. Jika dalam bahasa kita, bean berkata, “ngapain aku susah-susah ganti neh celana, wong orang itu buta kok…”
Pembaca yang budiman, Itulah PERSEPSI. Kadang kita terhanyut dengan persepsi kita sendiri dan sering kali salah.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengambil 2 (dua) resferensi yang membahas tentang Persepsi ini, yaitu dari ESQ Leadership Center dan Harun Yahya (Penulis: Mr. Adnan Octar)
1. ESQ Leadership Centre Model
Salah satu ESQ Model, yang dikeluarkan oleh ESQ training center, menguraikan bahwa “Terdapat 7 hal yang membelenggu potensi diri kita sebagai Hamba Allah, yang selalu menghalangi cahaya Ilahi dalam diri” yaitu :
1 Prasangka Negatif
2 Prinsip Hidup
3 Pengalaman
4 Kepentingan
5 Sudut Pandang
6 Pembanding
7 Literatur (yang melahirkan fanatisme)
Untuk lengkapnya mungkin salah satu sumber bisa dibaca di link ini atau ke Web site ESQ
Coba kita renungkan semua pendapat atau prasangka atau persepsi yang pernah kita utarakan dan yakini, Seberapa banyak pendapat kita itu benar dan seberapa banyak pendapat kita salah? Baik itu benar atau salah, sudah pastinya akan mengacu kepada ketujuh hal di atas.
Contoh yang paling gampang, sesama umat islam, kita sering mangalami perbedaan waktu awal Ramadhan dan perbedaan hari Lebaran, kenapa? Karena masing-masing memiliki literatur masing-masing yang diyakini masing-masing malah dijadikan fanatisme. Sehingga apa yang terjadi? Kesempatan untuk menjalin Kebersamaan umat telah disia-siakan begitu saja oleh sebab suatu persepsi. Padahal Agama mengajarkan kita untuk bersatu dan hidup berjamaah dalam kehidupan.
Contoh lain yang popular adalah dalam dunia politik, tidak sedikit sesama muslim atau sesama agama, mudah bertengkar, menghina, mencaci, membuka aib dan merendahkan saudaranya sendiri hanya karena berbeda kepentingan politik. Tidak sedikit pula terbukti seorang politisi yang pindah dari partai satu ke partai lain lalu pindah lagi ke partai lain, hanya karena merasa kepentingannya tidak sejalan lagi dengan partainya. Sehingga nilai ‘kekhalifahan’ yang sesungguhnya tertanam dalam dunia politik, menjadi tertutup oleh sebab kepentingan, ego, prasangka negatif dll yang pada akhirnya tujuan yang benar sebagai khalifah dengan cara berpolitik sirna oleh sebab belenggu tersebut.
Tidak sedikit kita mendengar sekelompok anak sekolah melakukan tawuran hanya karena fanatisme sekolah, sehingga anak sekolah lain yang sesungguhnya adalah saudara sendiri seiman bisa dibinasakan dengan mudahnya. Dan akibatnya mereka akan merugi dengan sendirinya. Fanatisme itu akan menutup potensi diri untuk berkembang dan melahirkan sifat benci dan perpecahan.
Tidak sedikit sebagian istri yang tidak bersyukur atas keadaan suaminya hanya karena dia lebih mudah membandingkan apa yang diperoleh tetangga atau rekannya daripada dirinya dan suaminya. Sehingga dari belenggu yang suka membanding-bandingkan MENUTUP sifat suka bersyukur dan justru melahirkan sifat Kufur yang jelas-jelas akan mencelakakan diri dan keluarganya.
Dan masih banyak lagi contoh-contohnya yang oleh sebab persepsi yang salah sehingga membuat kita celaka dan merugi, baik dari sisi fisik, ruhani maupun di hari pembalasan.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang (QS. Al-Hujurat 49:12)
2. Harun Yahya
Dari salah satu literatur dari Harun Yahya, berjudul Timelessness and The reality of fate (Ketiadaan waktu dan relitas takdir) dalam bab-bab awal menjelaskan tetang persepsi.
Persepsi atau prasangka kita terhadap sesuatu, menurutnya ternyata hanya dibatasi oleh 5 indra yang kita miliki. Menurutnya, kita telah tebiasa sejak lahir HANYA oleh 5 indra yang kita miliki. Apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, rasakan, cium dan raba. Misal kita melihat sesuatu, sesungguhnya yang terjadi adalah terjadi pergerakan sinar-sinar elektris dari benda tersebut sampai ke lensa mata kita, dan dilanjutkan ke otak dan kemudian diolahlah berdasarkan database yang telah tersimpan. Begitupun dengan perasa, penciuman, peraba, pedengaran. Apel berwarna merah pun, kita mengatakan merah sebgai akibat pergerakan sinar-sinar elektis yang sampai ke mata, kemudia input ini dibawa ke otak, dan dari hasil memori mengatakan bahwa itu Merah. Andaikan saja dalam perjalanan sinar-sinar elektris itu terdapat halangan atau gangguan yang mengakibatkan informasi ke otak lain, maka otak akan mengatakan warnanya lain pula.
Jadi, respon yang dilakukan setiap insan, baik itu marah, kesal, gembira, senang dan lain-lain yang disebabkan oleh suatu inputan yang diterima mata atau hidung atau kulit atau telinga atau lidah yang telah sampai ke otak dan otak meresponnya sesuai data di otak. Jika jeruk manis membuat orang senang dan jeruk asam membuat orang mencibir atau bahkan marah kepada penjual, maka bukankah itu artinya kita telah tunduk kepada 5 indra? Padahal menurut harun yahya, secara hakikat fisik itu tidak ada. Merah itu tidak ada, asam itu tidak ada yang ada adalah persepsi warna merah, persepsi masam dll.
Dari bahasan dalam Harun Yahya tersebut, mari kita kembangkan dengan beberapa contoh berikut,
Misal ketika seorang pekerja menghampelas kayu, dan menurut perabaannya dia selama dia bekerja, permukaan kayu yang dihasilkannya itu adalah permukaan yang paling halus yang telah diakui menurut sebagian banyak pembeli sebelumnya. Tetapi ketika yang meraba adalah kita, ternyata stimulus yang dimulai dari kulit kita yang masuk ke otak mengatakan bahwa kayu itu belum halus benar. Sehingga dengan mudahnya kita mengkomplen sang tukang untuk lebih menghaluskannya lagi. Dan tentu sang tukang kayu pasti akan kaget, karena menurut dia rabaannya sudah yang paling halus.
Nilai pribadi seseorang bisa dilihat dari respon dari stimulus apa yang telah masuk kepadanya. Baik atau tidaknya pribadi seseorang bisa dilihat salah satunya dari respon yang dia lakukan atau berikan dari suatu stimulus yang terjadi pada dirinya. Sabar, syukur, disiplin, mampu mengendalikan hawa nafsu, dll itu semua merupakan respon diri terhadap suatu kejadian.
Contoh lain misalnya kisah berikut:
Misal ada seorang pemuda bernama Rudi, menerima pemberian jeruk dari Said temannya. Said berniat memberikan jeruk kepada rudi karena Said memiliki 2 jeruk dan berniat untuk berbagi dengan Rudi. Setelah memberikan jeruk, Said pergi karena ada keperluan. Rudi langsung memakan jeruk tadi dan ternyata jeruknya rasanya kecut. Respon yang dilakukan Rudi saat itu dengan mengatakan, “Sialan tuh si Said ngasih jeruk yang kecut gini, ah dasar pelit, kalau ngasih yang manis donk” sambil bersungut-sungut di mengumpat temennya. Pada saat itu Rudi beserta temannya Sardi, dengan santai Sardi berucap kepada rudi, “Sudahlah rud, mending coba makan buah ini neh, buah dari afrika, namanya miracle fruit, coba lah enak lo” lalu rudi memakan buah miracle fruit tersebut. Selang berapa menit ngobrol dengan rudi, Sardi berkata lagi,”Kamu bilang tadi jeruknya kecut? Masa sih? Coba sekali lagi, manis kali? “, Rudi akhirnya nurut, dan dia makan lagi jeruk yang kecut tadi… apa yang terjadi? Rudi berkata, “wah manis juga ya… wah, saya telah mengumpat said lagi, padahal jeruk ini ternyata manis…” Setelah itu di habiskan jeruk dan dalam hati dia mau minta ma’af ke Said.
Kisah sederhana ini merupakan bagaimana kita merespon terhadap suatu stimulus yang bermula dari indera perasa yaitu lidah. Sebegitu mudah orang merespon dengan mengumpat orang lain atau tidak bersyukur hanya karena rasa yang diterima oleh lidah tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Dan dengan sedikit sentuhan perubah rasa di dalam lidah, respon pun berganti dengan seketika. Miracle fruit adalah buah merah dari Afrika Barat yang apa bila kita memakannya terlebih dahulu, akan merubah struktur kimia makan yang kecut menjadi manis di lidah menjadi manis, informasi manis ini akan sampai ke otak dan respon yang akan dijawab oleh otak adalah dengan mengatakan manis. Lihatlah, betapa nilai sesorang bisa berubah hanya karena berubah respon sebagai akibat dari apa yang diterima oleh indera kita berupa stimulus yang berbeda.
Pembaca yang budiman, bagi yang mengerti akan betapa kuatnya suatu persepsi bisa mempengaruhi diri kita, termasuk perbuatan yang akan kita lakukan, maka marilah kita hantarkan pribadi kita untuk menjadi pribadi yang unggul dimana setiap respon yang kita lakukan akibat dari stimulus yang kita terima adalah respon yang baik dan berakhlaq baik dan yang DIINGINKAN TUHAN.
Dengan kita mampu menghindari belenggu-belenggu fikiran, semoga potensi diri menjadi terbuka lebar dan berakhir dengan kebahagiaan hidup tanpa batas.
Yakinilah bahwa semua yang diinginkan Tuhan dari kita adalah segala hal yang keluar dari diri kita bernilai baik.
Jika kita masih sering berpendapat dan berpersepsi salah , maka Berhentilah membanggakan dan memaksakan persepsi kita sendiri. Terutama terhadap anak-anak, dimana mahkluk Tuhan yang masih kecil itu jelas-jelas memiliki persepsi dan frekuensi sendiri, sesuai dengan apa yang mereka maksud, maka sesuaikanlah persepsi dan frekuensi kita kepadanya, bukan kita yang memaksakan persepsi kita kepadanya, tetapi kita yang mesti menyesuaikan dengan persepsi dia. Kadang kita menilai anak kita lelah sekolah karena jam sekolahnya lama, tetapi si anak mungkin bisa jadi senang dan bahagia menjalani sekolahnya meski lama, kenapa kita mesti menghentikan kebahagiaannya di sekolah?
Demikian tulisan ini dibuat, semoga bermanfaat.
Wassalam
Dedemeki
Persepsi
Diposting oleh
Erni Purnamawati
Label:
Psikologi Komunikasi
/
Comments: (0)
1. Definisi Persepsi
Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Dengan kata lain persepsi adalah cara kita mengubah energi – energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna. Persepsi adalah juga inti komunikasi, karena jika persepsi kita tidak akurat, tidak mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi individu,semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas. Persepsi meliputi :
· Penginderaan ( sensasi ), melalui alat – alat indra kita ( indra perasa, indra peraba, indra pencium, indra pengecap, dan indra pendengar ). Makna pesan yang dikirimkan ke otak harus dipelajari. Semua indra itu mempunyai andil bagi berlangsungnya komunikasi manusia.penglihatan menyampaikan pesan nonverbal ke otak untuk diinterprestasikan. Pendengaran juga menyampaikan pesan verbal ke otak untuk ditafsirkan. Penciuman, sentuhan dan pengecapan, terkadang memainkan peranan penting dalam komunikasi, seperti bau parfum yang menyengat, jabatan tangan yang kuat, dan rasa air garam dipantai.
· Atensi atau perhatian adalah, pemrosesan secara sadar sejumlah kecil informasi dari sejumlah besar informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan dan, proses kognitif lainnya.Proses atensi membantu efisiensi penggunaan sumberdaya mental yang terbatas yang kemudian akan membantu kecepatan reaksi terhadap rangsang tertentu. Atensi dapat merupakan proses sadar maupun tidak sadar.
· Interpretasi adalah, proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol- simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan).
2. Budaya dan Persepsi
Faktor – faktor internal bukan saja mempengaruhi atensi bukan saja mempengaruhi atensi sebagai salah satu aspek persepsi, tetapi juga mempengaruhi persepsi kita secara keseluruhan, terutama penafsiran atas suatu rangsangan. Agama, ideologi, tingkat ekonomi, pekerjaan, dan cita rasa sebagai faktor – faktor internal jelas mempengaruhi persepsi seseorang terhadap realitas. Denagn demikian persepsi itu terkait oleh budaya ( culture – bound ). Kelompok – kelompok budaya boleh jadi berbeda dalam mempersepsikan sesuatu. Orang Jepang berpandangan bahwa kegemaran berbicara adalah kedangkalan, sedangkan orang Amerika berpandangan bahwa mengutarakan pendapat secara terbuka adalah hal yang baik.
Larry A. Samovar dan Richard E. Porter mengemukakan 6 unsur budaya yang secara langsung mempegaruhi persepsi kita ketika kita berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, yakni :
· kepercayaan (beliefs), nilai ( values ), sikap ( attitude )
· pandangan dunia ( world view )
· organisasi sosial ( sozial organization )
· tabiat manusia ( human nature )
· orientasi kegiatan ( activity orientation )
· persepsi tentang diri dan orang lain ( perseption of self and other )
3. Persepsi selektif, organisasi, dan penafsiran
Setiap orang memperhatikan , mengorganisasikan dan menafsirkan semua pengalamannya secara selektif. Stimuli secara secara selektif artinya, stimuli di urutkan, dan selanjutnya, disajikan sebuah gambaran yang menyeluruh, lengkap, dan dapat di indera. Tidak mudah memahami cara orang lain mengorganisasikan sekaligus memikirkan cara kita sendiri. Setelah stimuli dipersepsi dan diorganisasikan secara selektif, selanjutnya stimuli ditafsirkan secara selektif pula, artinya stimuli diberi makna secara unik oleh orang yang menerimanya.
4. Pengamat / objek / konteks
Seperti mempersepsi benda mempersepsi orang lain juga dapat ditinjau dari 3 unsur yaitu :
· pengamat
· objek persepsi
· konteks yang berkaitan denagn objek yang diamati
Sebagai pengamat anda juga dipengaruhi oleh atribu –atribut anda sendiri. Misalnya orang cenderung membuat penilaian umum, positif ataupun negatif. Namun, karena persepsi personal merupakan proses tradisional, maka atribut – atribut tersebut dapat berubah. Sesekali kesalahan persepsi dapat diperbaiki. Namun, biasanya suatu kesalahan persepsi diikuti kesalahan persepsi lainnya. Sehingga, penyimpangan yang terjadi semakin parah.
5. kegagalan dan kekeliruan dalam persepsi
Persepsi kita seringkali tidak cermat. Salah satu penyebabnya adalah asumsi atau pengharapan kita. Kita mempersepsikan sesuatu atau seseorang sesuai dengan pengharapan kita. Beberpa bentuk dan kegagalan persepsi adalah sebagai berikut :
· Kesalahan atribusi : atribusi adalah proses internal dalam diri kita untuk memahami penyebab perilaku orang lain.
· Efek halo : merujuk pada fakta bahwa begitu kita membentuk kesan menyeluruh mengenai seseorang, kesan yang menyeluruh ini cenderung menimbulkan efek yang kuat atas penilaian kita akan sifat- sifatnya yang spesifik.
· Stereotip : adalah mengeneralisasikan orang – orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok.
· Prasangka : suatu kekeliruan persepsi terhadap orang yang berbeda. Istilah ini berasal dari bahasa latin ( praejudicium ), yang berarti preseden atau penilaian berdasarkan pengalaman terdahulu.
· Gegar budaya : suatu bentuk ketidak mampuan menyesuaikan diri, yang merupakan reaksi terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang –orang baru.
6. Bagaimanakah sebuah pembentukan kesan ?
* Meperhatikan diri sendiri
* Konsep diri adalah kesan anda yang relatif stabil menegenai diri sendiri.
* Umpan balik adalah sikap yang menunjukan sikap respon atau menanggapi lawan main
* Rasa malu
* Ramalan yang dipenuhi diri sendiri
* Atribusi pelaku
Kebanyakan orang membentuk kesan atas oranglain dengan mudah, namun mereka merasa sulit bila diminta menjelaskan prosesnya. Kesan adalah kata yang kita gunakan untuk penilaian kita.
7. Kesan Pertama
Penilaian kepribadian digunakan untuk menjelaskan dan memperkirakan perilaku berdasarkan informasi yang amat terbatas. Bagaimanakah informasi yang ada dimanfaatkan dalam pembentukan kesan pertama?. Sebenarnya, setiap orang tampaknya mempunyai teori khusus kepribadian atau biasa disebut degan teori implisit. Pada intinya istilah in berarti bagaimana kita memilih dan mengorganisasikan informasi tentangorang lain berdasarkan perilaku yang kita rasa dimilikinya.
8. Beberapa variable yang mempengaruhi kecermatan persepsi
Ada beberapa variable yang dapat mempengaruhi kecermatan dalam persepsi . Berbagai kajian menunjukan sedikitnya tiga generalisasi yang dapat dibuat
* Ada orang – orang yang lebih mudah menilai dari orang –orang lainnya, mungkin mereka lebih terbuka mengenai diri sendiri
* Beberapa sifat lebih mudah diniai daripada beberapa sifat lainnya
* Kita dapat menilai orang lebih baik bila orang tersebut mirip dengan kita.
Sumber : http://kuliahkomunikasi.com
Komunikasi Virtual, Internet...
Diposting oleh
Erni Purnamawati
Label:
Pengantar Komunikasi
/
Comments: (0)
Internet merupakan revolusi komunikasi yangs angat luas dan mendalam. Dunia digital telah mengubah komunikasi di dalam organsisasi dan diantara organsiasi dengan berbagai public yang berbeda-beda. Dalam PR, Internet adalah jalur infromasi bebas hambatan.
Pakar media-baru John Pavlik dan Shawn McIntos mengatakan tentang perubahan “konvergensi media” sebagai berikut:
Menyatunya telekomunikasi, computer, dan media dalam lingkungan digital. Konvergensi dan perubahan yang dihasilkannya telah mengubah banyak aspek dasar dari media massa dan komunikasi
Kemajuan teknologi telah mengubah produksi komunikasi, distribusinya, penyampaiannya, dan penyimpanannya. Dan meskipun banyak orang yang mengakui bahwa teknologi media baru telah mengubah cara PR dijalankan, kecepatan perubahan telah membuat PR harus bersusah payah untuk terus mengikutinya. Konsekuensinya, Institute for Public Relations dan WORLDCOM Public Relations Group melakukan studi dampak internet terhadap PR. Meskipun temuannya mungkin tidak mengesankan bagi mahasiswa sekarang, namun mereka berhasil mendokumentasikan perubahan besar dalam praktik yang dimulai sejak abad ke – 20. Kesimpulan studi itu antara lain:
* Ada kesepakatan yang hampir bulat (98%) di kalangan professional PR bahwa kemajuan teknologi seperti e-mail dan Intenet telah memengaruhi cara kerja mereka
* Mayoritas (91%) percaya bahwa mereka kini berhubungan dengan lebih banyak orang dalam bisnis dan lingkungan professional mereka ketinbang sebelum ada e-mail. Hanya 7% yang tidak setuju dengan pernyataan ini
* Sebagian besar (90%) sepakat bahwa kemampuan cepat untuk menyampaikan komunikasi tertulis vie e-mail dan akses ke informasi real-time melalui internet telah mempercepat langkah pembuatan keputusan dalam jurnalisme berita.
* Profesional PR yang disurvei dalam studi ini rata-rata menghabiskan waktu antara 15 sampai 19 jam online setiap minggu, dan melakukan online rata-rata 5,8 hari per minggu … sepertiganya (33%) mengatakan bahwa mereka online tujuh hari seminggu.
* Subjek juga ditanya apakah mereka akan memilih Koran harian, computer berkoneksi Internet, radio atau televisi apabila mereka kesasar di suatu tempat selama beberapa waktu yang lama dan hanya ada akses ke media-media tersebut. Hasilnya menunjukan 69% memilih komputer ber-Internet. (Donald K. Wright (Principal Investigator), “The Magic Communication Machine: Examining the Internet’s Impact on Public Relations, Journalism and the Public” (Gainesville, FL: The Institute for Public Relations,2001), 37-39. (Online di http://www.instituteforpr.com/internet_-_news_technology.phtm.)
Studi ini juga menemukan kemungkinan perubahan lain dalam cara operasi PR vis-à-vis media:
Dalam kenyataannya, salah satu keuntungan terbesar dari internet sebagai medium PR adalah kemampuan riilnya untuk…memberikan akses langsung dan cepat ke audien spesifik, dan karenanya lebih unggul daripada media berita tradisional. (Ibid.,36)
Akan teteapi perubahan ini bahkan jauh lebih medalam. Pengkodean pesan telah berubah dari analog ke digital, yang oleh Nicholas Negroponte dinamakan transisis dari “atom” ke “bits” (Nicholas Nagroponte, Being Didital (New York: Vintage Books, 1995), 11-20. Perubahandari atom ke digit, yang menyebabkan konvergensi, mengubah sifat dari komuniikasi. Dalam era “analog” pihak publisher menyebarkan informasi ke audien yang memiliki cara tertabatas untuk berkomunikasi satu sama lain atau berkomunikasi dengan sumber infromasi. Sebaliknya,
Audien di era konvergensi dapat berkomunikasi dengan pihak-pihak yang menciptakan dan memublikasikan isi komunikasi massa lewat e-mail, forum online, dan media interaktif lainnya dengan mudah dan cepat. Selain itu mereka juga bisa mencoptakan isi komunikasi massa sendiri, dan mendapatkan audien yang lebih besar dengan biaya yang lebih murah ketimbang jika dilakukan dengan media tradisional. ( Blogger Patrick Belton, sebagaimana dikutip oleh Alan Elsner, “Bloggers Make Debut at Democratic Convention,” Reuter (26 Juli 2004). (http://www.reuters.com/newsArticle.html?type=internetNews&storyID=5777817)
Misalnya, weblogs atau “blogs” dimulai sebagai jurnal elektronik pribadi di Internet. Blogger dapat “memublikasikan” pengamatan mereka, opini mereka, dan interpretasi mereka. Ketika anggota Partai Demokrat rapat di Boston dan anggota Partai Republik di Newyork untuk mengadakap konvensi masing masing pada 2004, beberapa blogger yang mapan bekerja sebagai “media terpercaya” bersama wartwan kantor berita tradisional. Seperti diprediksi oleh seorang blogger: “Konvensi 2004 akan diingat sebagai konvensi blog; sebagaimana konvensi Republik 1952 diingat sebagai konvensi televise, konvensi 1924 sebagai konvensi radio.
Tetapi tentu saja, para blogger tidak harus datang ke konvensi untuk menjadi penerbit berita dan opini tentang isu, pembicara, dan calon. Bagi mereka yang berada dalam komunitas maya yang punya garis pemikiran yang sama, blog telah menjadi pilihan ruang maya digital yang saling terhubung. Praktisi PR makin memerhatikan pelaku di media baru ini untuk menjangkau public yang ahli web, baik itu dengan mencoba agar diliput oleh blog mau pun dengan membuat blog sendiri sebagai bagian dari strategi komunikasi.
Metode komunikasi berbasis Internet telah mengubah lanskap media di dalam komunikasi organisasi-publik. World Wide Web memiliki potensi untuk membuka komunikasi dengan audien di seluruh dunia. Di satu sisi, ia memiliki kekuatan untuk mengirim pesan secara seketika ke banyak public sasaran spesifik, dan menerima pesan dari mereka, dalam 24 jam sehari tujuh hari seminggu sehingga membuat Internet sangat penting bagi komunikasi PR. Kemajuan teknologi yang pesat mensyaraktkan penguasaan pengetahuan dan keahlian baru di “cyberworld” yang tanp0a batas dan memberikan banyak askes, pertukaran, berita dan informasi tak henti-hentinya.
Praktisi yang mengepalai praktik PR interaktif di seluruh dunia, Fleishman-Hillard, meringkaskan konteks komunikasi PR yang baru sebagai berikut:
Dalam dunia digital, teks, suara, foto, video, dan animasi mengalir dalam satu bit-streaminformasi yang meudia diiterima konsumen. Dengan melihat pada Website Koran-korang besar AS sekarang ini kita bisa meliha t seberapa jauh berita cetak satu dimensi telah berganti menjadi dengan banyak isi dan tiga dimensi. ( David Wickenden, “High-Tech Trends That Will matter to PR Executives,” Public Relations Strategist 9, No.2 (Summer,2003):24)
Sumber : http://kuliahkomunikasi.com