skip to main |
skip to sidebar
Langkah-langkah dalam community relations bagi organisasi
nonprofit menurut Demartinis (2004:2-4) yaitu sebagai berikut :
- Merumuskan
komunitas organisasi dan berbagai kelompok yang ada didalamnya. Organisasi
bekerja bersama dengan kelompok-kelompok orang yang memandang organisasi
dari perspektif masing-masing yang unik. Cara yang paling tepat untuk
mengidentifikasi kelompok-kelompok utama komunitas adalah dengan membuka
interaksi pada komunitas tersebut.
- Menentukan
tujuan program community relations organisasi, apa yang ingin dicapai
organisasi pada masing-masing kelompok dalam komunitas tersebut?
- Menyusun
pesan yang hendak disampaikan, pesan yang disusun bisa saja berbeda-beda
untuk setiap kelompok komunitas dan masing-masing pesan dirancang untuk
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Hal ini mengacu pada “sasaran”
pesan pada kelompok khalayak.
- Memilih
metode yang paling baik dalam penyampaian pesan, pesan bisa disampaikan
melalui berbagai bentuk media, bisa disampaikan secara personal atau
menyelenggarakan kegiatan khusus, yang terpenting pesan tersebut bisa
disampaikan kepada khalayak. Yang perlu diingat adalah semakin penting pesan itu maka akan makin
baik bila disampaikan secara pribadi.
- Melaksanakan
program community relations organisasi, memang membuat perencanaan sangat
diperlukan. Namun hendaknya energi tak dihabiskan pada saat perencanaan
belaka melainkan yang terpenting, saat rencana itu diimplementasikan.
- Menganalisis
hasil, apakah program atau kegiatan berhasil? Apakah tujuan yang sudah
ditetapkan untuk masing-masing kelompok tercapai? Luangkan waktu cukup
memadai untuk menganalisis dampak kegiatan (outcome). Biasanya hasilnya
merupakan paduan antara keberhasilan dan kegagalan.
Langkah-langkah community relations untuk organisasi bisnis
menurut Brown (1998) yaitu sebagai berikut :
- Segmentasi,
para praktisi PR biasanya membagi ‘publik’ ke dalam publik-publik sasaran.
Begitu juga halnya dengan community relations, karena organisasi bisnis
tidaklah berhubungan dengan ‘komunitas’ massa yang tunggal melaikan pada
sejumlah komunitas yang berbeda-beda.
- Skala
prioritas, dari sekian banyak komunitas itu tentu mesti dipilih mana yang
hendak menjadi sasaran program community relations. Pertimbangan prioritas
tersebut biasanya didasarkan pada komunitas yang paling memiliki kekuatan
untuk mendukung atau menghambat pencapaian tujuan bisnis organisasi.
- Penelitian,
setelah komunitasnya dipilih, langkah berikutnya adalah mengetahui bidang
perhatian utama di kalangan komunitas yang menjadi sasaran.
- Pemuka
pendapat pada kelompok sasaran, cara lain untuk mengetahui permasalahan
komunitas adalah dengan berbicara pada pemuka pendapatanya. Hasil
pembicaraan dengan pemuka pendapat itu akan memberi informasi mengenai
masalah-masalah yang dihadapi komunitas.
- Penyelarasan,
tentu saja setiap komunitas akan memiliki permasalahan dan harapannya
masing-masing terhadap organisasi kita. Begitu juga dengan organisasi kita, memiliki
tujuan yang berbeda-beda pada tiap komunitas. Karena
itu perlu dilakukan penyelarasan.
Oleh M Badri
Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan
wacana yang sedang mengemuka di dunia bisnis atau perusahaan. Wacana ini digunakan
oleh perusahaan dalam rangka mengambil peran menghadapi perekonomian menuju
pasar bebas. Perkembangan pasar bebas yang telah membentuk ikatan-ikatan
ekonomi dunia dengan terbentuknya AFTA, APEC dan sebagainya, telah mendorong
perusahaan dari berbagai penjuru dunia untuk secara bersama melaksanakan
aktivitasnya dalam rangka mensejahterakan masyarakat di sekitarnya.
Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de
Jeneiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari
pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan
dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah
dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing
stakeholders. Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan
menjadi penting, di antaranya adalah ; (1) ketersediaan dana, (2) misi
lingkungan (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan
(masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai keuntungan (Idris,
2005).
Berbagai peristiwa negatif yang menimpa sejumlah perusahaan, terutama setelah
reformasi, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi para pemilik dan
manajemen perusahaan untuk memberikan perhatian dan tanggung jawab yang lebih
baik kepada masyarakat, khususnya di sekitar lokasi perusahaan. Sebab
kelangsungan suatu usaha tidak hanya ditentukan oleh tingkat keuntungan, tapi
juga tanggung jawab sosial perusahaan. Apa yang terjadi ketika banyak
perusahaan didemo, dihujat, bahkan dirusak oleh masyarakat sekitar lokasi
pabrik?
Bila ditelusuri, boleh jadi salah satu penyebabnya adalah kurangnya perhatian
dan tanggung jawab manajemen dan pemilik perusahaan terhadap masyarakat maupun
lingkungan di sekitar lokasi perusahaan. Investor hanya mengeduk dan
mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di daerah tersebut, tanpa
memperhatikan faktor lingkungan. Selain itu, nyaris sedikit atau bahkan tidak
ada keuntungan perusahaan yang dikembalikan kepada masyarakat. Justru yang
banyak terjadi, masyarakat malah termarginalkan di daerah sendiri.
Kasus terbaru terjadi di Papua yang melibatkan PT Freeport, hingga menimbuklan
efek domino dan menyebabkan chaos di daerah yang terkenal dengan potensi sumber
daya alamnya tersebut. Di sekitar areal bertambangan yang mengalirkan jutaan
Dollar perhari, kehidupan masyarakat masih hidup miskin dan nyaris tak
tersentuh perhatian perusahaan. Bahkan berbagai tindakan anarkis ditimpakan
kepada mereka saat mengais sisa produksi di areal pembuangan limbah. Kekacauan
tersebut seharusnya tidak terjadi bila perusahaan memberikan tanggungjawab
sosialnya kepada masyarakat. Sebab seperti dikatakan mantan PM Thailand Anand
Panyarachun pada Asian Forum on Coorporate Social Responsibility, 18 September
2003 di Bangkok,
“melaksanakan praktik-praktik yang bertanggungjawab terhadap lingkungan dan
sosial akan meningkatkan nilai pemegang saham, dan berdampak pada peningkatan
prestasi keuangan serta menjamin sukses yang berkelanjutan bagi perusahaan.”
Pada kenyatannya CSR tidak serta merta dipraktikkan oleh semua perusahaan.
Beberapa perusahaan yang menerapkan CSR justru dianggap sok sosial. Ada juga yang berhasil
memberikan materi riil kepada masyarakat, namun di ruang publik nama perusahaan
gagal menarik simpati orang. Tujuannya mau berderma sembari meneguk untung
citra, tetapi malah ‘buntung’. Hal ini terjadi karena CSR dilakukan secara
latah dan tidak didukung konsep yang baik.
Tujuan penulisan ini adalah untuk membuat konsep CSR yang efektif dan efisien
untuk diaplikasikan oleh perusahaan. Dengan mengumpulkan literatur dari
berbagai sumber yang sangat relevan di bidangnya, diharapkan tulisan ini
bermanfaat bagi pembaca, khususnya praktisi dan peminat studi Public Relations.
Studi Pustaka
Public Relations
Public Relations (PR) menurut Jefkins (2003) adalah suatu bentuk komunikasi
yang terencana, baik itu ke dalam maupun ke luar, antara suatu organisasi
dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang
berlandaskan pada saling pengertian. PR menggunakan metode manajemen
berdasarkan tujuan (management by objectives). Dalam mengejar suatu tujuan,
semua hasil atau tingkat kemajuan yang telah dicapai harus bisa diukur secara
jelas, mengingat PR merupakan kegiatan yang nyata. Kenyataan ini dengan jelas
menyangkal anggapan keliru yang mengatakan bahwa PR merupakan kegiatan yang
astrak. Sedangkan British Institite Public Relations mendefinisikan PR adalah
keseluruhan upaya yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam
rangka menciptakan dan memelihara niat baik (good-will) dan saling pengertian
antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya.
Pertemuan asosiasi-asosiasi PR seluruh dunia di Mexico City pada bulan agustus
1978, menghasilkan pernyataan mengenai PR sebagai berikut: “Praktik PR adalah
sebuah seni sekaligus ilmu sosial yang menganalisis berbagai kecenderungan,
memperkirakan setiap kemungkinan konsekuensinya, memberi masukan dan
saran-saran kepada para pemimpin organisasi, serta menerapkan program-program
tindakan yang terencana untuk melayani kebutuhan organisasi dan kepentingan
khalayaknya. Definisi tersebut mencakup aspek-aspek PR dengan aspek-aspek ilmu
sosial dari suatu organisasi, yakni tanggungjawab organisasi atas kepentingan publik
atau kepentingan masyarakat luas. Setiap organisasi dinilai berdasarkan sepak
terjangnya. Jelas bahwa PR berkaitan dengan niat baik (goodwill) dan nama baik
atau reputasi (Jefkins, 2003).
Soemirat dan Ardianto (2004) mengklasifikasikan publik dalam PR menjadi
beberapa kategori yaitu:
1. Publik internal dan publik eksternal: Internal publik yaitu publik yang
berada di dalam organisasi/ perusahaan seperti supervisor, karyawan pelaksana,
manajer, pemegang saham dan direksi perusahaan. Eksternal publik secara organik
tidak berkaitan langsung dengan perusahaan seperti pers, pemerintah, pendidik/
dosen, pelanggan, komunitas dan pemasok.
2. Publik primer, sekunder, dan marginal. Publik primer bisa sangat membantu
atau merintangi upaya suatu perusahaan. Publik sekunder adalah publik yang
kurang begitu penting dan publik marginal adalah publik yang tidak begitu
penting. Contoh, anggota Federal Reserve Board of Governor (dewan gubernur
cadangan federal) yang ikut mengatur masalah perbankan, menjadi publik primer
untuk sebuah bank yang menunggu rotasi secara teratur, di mana anggita
legislatif dan masyarakat menjadi publik sekundernya.
3. Publik tradisional dan publik masa depan. Karyawan dan pelanggan adalah
publik tradisional, mahasiswa/pelajar, peneliti, konsumen potensial, dosen, dan
pejabat pemerintah (madya) adalah publik masa depan.
4. Proponent, opponent, dan uncommitted. Di antara publik terdapat kelompok
yang menentang perusahaan (opponents), yang memihak (proponents) dan ada yang
tidak peduli (uncommitted). Perusahaan perlu mengenal publik yang berbeda-beda
ini agar dapat dengan jernih melihat permasalahan.
5. Silent majority dan vocal minority: Dilihat dari aktivitas publik dalam
mengajukan complaint (keluhan) atau mendukung perusahaan, dapat dibedakan
antara yang vokal (aktif) dan yang silent (pasif). Publik penulis di surat kabar umumnya adalah
the vocal minority, yaitu aktif menyuarakan pendapatnya, namun jumlahnya tak
banyak. Sedangkan mayoritas pembaca adalah pasif sehingga tidak kelihatan suara
atau pendapatnya.
Greener (2002) mengemukakan bahwa PR tidak satu arah arus informasi, ia
memiliki dua fungsi peran juga. Dapat, sebagai contoh, membantu membentuk
organisasi anda dengan informasi manajemen yang diharapkan, pendapat-pendapat
dan hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat ini, dan menerangkan serta memberi
nasehat tentang suatu tindakan yang konsekuen. Dalam perannya ini, PR
benar-benar merupakan fungsi manajemen, bertugas dengan tanggungjawab menjaga
reputasi suatu organisasi ––membentuk, melindungi dan memperkenalkannya.
Berkaitan dengan fungsi manajemen, Hutapea (2000) menjelaskan bahwa PR adalah
fungsi manajemen untuk membantu menegakkan dan memelihara aturan bersama dalam
komunikasi, demi terciptanya saling pengertian dan kerjasama antara lembaga/
perusahaan dengan publiknya, membantu manajemen dan menanggapi pendapat
publiknya, mengatur dan menekankan tanggungjawab manajemen dalam melayani
kepentingan masyarakat, membantu manajemen dalam mengikuti, memonitor,
bertindak sebagai suatu sistem tanda bahaya untuk membantu manajemen
berjaga-jaga dalam menghadapi berbagai kemungkinan buruk, serta menggunakan
penelitian dan teknik-teknik komunikasi yang efektif dan persuasif untuk
mencapai semua itu.
Untuk implementasi PR secara konkrit di organisasi di masa mendatang, menurut
Hubeis (2001) perlu diikuti dengan kegiatan seperti personal development, dan
leadership building (konsep pengembangan diri, teknik presentasi yang menarik
dan efektif, meningkatkan percaya diri, dan mentalitas sukses); pendirian
maupun pemberdayaan pusat data dan informasi untuk mendukung pengembangan
program unggulan, yang dimulai dari tahapan mengumpulkan, menyaring, mengolah
dan menyebarluaskan informasi; temu aksi (demo, diskusi dan gelar produksi),
dalam rangka mengembangkan tingkat komunikasi yang sesuai (intraindividual,
interpersonal, intraorganizational dan extraorganizational); pengenalan sikap
mitra kerja (teliti, konservatif, berkepala dingin, sensitif, keras dan
berpandangan sempit); dan permasalahan yang sedang berkembang di masyarakat,
dengan memperhatikan jangkauan media massa yang semakin luas, semakin tinggi
tingkat kesadaran pengguna akan haknya terhadap barang atau jasa yang
ditawarkan, tingginya mobilitas masyarakat desa ke kota, perubahan iklim
politik yang sulit diduga, semakin kritis LSM dalam menyampaikan keluhan
konsumen dan adanya produsen pesaing.
Dalam lingkungan bisnis yang berubah, PR ditempatkan pada platform yang lebih
tinggi. Kebutuhan perusahaan yang berkembang tidak hanya mengembangkan produk
atau jasa, tetapi harus berbuat lebih yakni membina hubungan positif dan
konsisten dengan pihak-pihak yang terlibat dengan organisasi. Oleh karena itu,
agar berkembang dan berfungsi optimal. PR harus didukung oleh berbagai pihak
(Octavia, 2003).
Citra Perusahaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian citra adalah: (1) kata benda:
gambar, rupa, gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai
pribadi, perusahaan, organisasi atau produk; (3) kesan mental atau bayangan
visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat, dan merupakan
unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi; (4) data atau informasi
dari potret udara untuk bahan evaluasi.
Katz dalam Soemirat dan Ardianto (2004) mengatakan bahwa citra adalah cara
bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang , suatu komite,
atau suatu aktivitas. Setiap perusahaan mempunyai citra. Setiap perusahaan
mempunyai citra sebanyak jumlah orang yang memandangnya. Berbagai citra
perusahaan datang dari pelanggan perusahaan, pelanggan potensial, bankir, staf
perusahaan, pesaing, distributor, pemasok, asosiasi dagang, dan gerakan
pelanggan di sektor perdagangan yang mempunyai pandangan terhadap perusahaan.
Jefkins (2003) menyebutkan beberapa jenis citra (image). Berikut ini lima jenis citra yang
dikemukakan, yakni:
1. Citra bayangan (mirror image). Citra ini melekat pada orang dalam atau
anggota-anggota organisasi––biasanya adalah pemimpinnya––mengenai anggapan
pihak luar tentang organisasinya.
2. Citra yang berlaku (current image). Adalah suatu citra atau pandangan yang
dianut oleh pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi.
3. Citra yang diharapkan (wish image). Adalah suatu citra yang diinginkan oleh
pihak manajemen.
4. Citra perusahaan (corporate image). Adalah citra dari suatu organisasi
secara keseluruhan, jadi bukan sekedar citra atas produk dan pelayanannya.
5. Citra majemuk (multiple image). Banyaknya jumlah pegawai (individu), cabang,
atau perwakilan dari sebuah perusahaan atau organisasi dapat memunculkan suatu
citra yang belum tentu sama dengan organisasi atau perusahaan tersebut secara
keseluruhan.
Soemirat dan Ardianto (2004) menjelaskan efek kognitif dari komunikasi sangat
mempengaruhi proses pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan
pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Komunikasi tidak
secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi
cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan. Public Relations
digambarkan sebagai input-output, proses intern dalam model ini adalah
pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan dan output
adalah tanggapan atau perilaku tertentu. Berikut ini adalah bagan dari
orientasi PR, yakni image building (membangun citra) sebagai model komunikasi
dalam PR yang dibuat oleh Soemirat dan Ardianto:
Efektivitas PR di dalam pembantukan citra (nyata, cermin dan aneka ragam)
organisasi, erat kaitannya dengan kemampuan (tingkat dasar dan lanjut) pemimpin
dalam menyelesaikan tugas organisasinya, baik secara individual maupun tim yang
dipengaruhi oleh praktek berorganisasi (job design, reward system, komunikasi
dan pengambilan keputusan) dan manajemen waktu/ perubahan dalam mengelola
sumberdaya (materi, modal dan SDM) untuk mencapai tujuan yang efisien dan
efektif, yaitu mencakup penyampaian perintah, informasi, berita dan laporan,
serta menjalin hubungan dengan orang. Hal ini tentunya erat dengan penguasaan
identitas diri yang mencakup aspek fisik, personil, kultur, hubungan organisasi
dengan pihak pengguna, respons dan mentalitas pengguna (Hubeis, 2001).
Praktisi humas senantiasa dihadapkan pada tantangan dan harus menangani
berbagai macam fakta yang sebenarnya, terlepas dari apakah fakta itu hitam,
putih, atau abu-abu. Perkembangan komunikasi tidak memungkinkan lagi bagi suatu
organisasi untuk menutup-nutupi suatu fakta. Citra humas yang ideal adalah
kesan yang benar, yakni sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta
pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya. Itu berarti citra tidak seharusnya
“dipoles agar lebih indah dari warna aslinya”, karena hal itu justru dapat
mengacaukannya (Anggoro, 2002).
Corporate Social Responsibility (CSR)
Definisi CSR menurut World Business Council on Sustainable Development adalah
komitmen dari bisnis/perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi
terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas
hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas. Definisi
lain, CSR adalah tanggung jawab perusahaan untuk menyesuaikan diri terhadap
kebutuhan dan harapan stakeholders sehubungan dengan isu-isu etika, sosial dan
lingkungan, di samping ekonomi (Warta Pertamina, 2004).
Sedangkan Petkoski dan Twose (2003) mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis
untuk berperan untuk mendukung pembangunan ekonomi, bekerjasama dengan karyawan
dan keluarganya, masyarakat lokal dan masyarakat luas, untuk meningkatkan mutu
hidup mereka dengan berbagai cara yang menguntungkan bagi bisnis dan
pembangunan.
Di dalam Green Paper Komisi Masyarakat Eropa 2001 dinyatakan bahwa kebanyakan
definisi tanggungjwab sosial korporat menunjukkan sebuah konsep tentang
pengintegrasian kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan hidup ke
dalam operasi bisnis perusahaan dan interaksi sukarela antara perusahaan dan
para stakeholder-nya. Ini setidaknya ada dua hal yang terkait dengan
tanggungjawab sosial korporat itu yakni pertimbangan sosial dan lingkungan
hidup serta interaksi sukarela (Irianta, 2004).
Dalam prinsip responsibility, penekanan yang signifikan diberikan pada
kepentingan stakeholders perusahaan. Di sini perusahaan diharuskan
memperhatikan kepentingan stakeholders perusahaan, menciptakan nilai tambah
(value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, dan memelihara
kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Sedangkan stakeholders
perusahaan dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah karyawan, konsumen, pemasok,
masyarakat, lingkungan sekitar, dan pemerintah sebagai regulator. CSR sebagai
sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang
berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang
direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab
perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines
lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi
keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan
(sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan
memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta
bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul ke
permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek
sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya (Idris, 2005).
Perusahaan-perusahaan yang memiliki reputasi bagus, umumnya menikmati enam hal.
Pertama, hubungan yang baik dengan para pemuka masyarakat. Kedua, hubungan
positif dengan pemerintah setempat. Ketiga, resiko krisis yang lebih kecil.
Keempat, rasa kebanggaan dalam organisasi dan di antara khalayak sasaran.
Kelima, saling pengertian antara khalayak sasaran, baik internal maupun
eksternal. Dan terakhir, meningkatkan kesetiaan para staf perusahaan (Anggoro,
2002).
Dalam “Model Empat Sisi CSR” perusahaan memiliki tanggung jawab ekonomis, yaitu
berbisnis dan mendapatkan profit. Selain itu, ada tanggung jawab legal, semisal
keharusan membayar pajak, memenuhi persyaratan Amdal, dan lain-lain. Di luar
itu ada tanggung jawab ethical atau etis. Misalnya perusahaan berlaku fair,
tidak membeda-bedakan ras, gender, tidak korupsi, dan hal-hal semacam itu.
Sementara yang keempat, tanggung jawab discretionary. Tanggung jawab yang seharusnya
tidak harus dilakukan, tapi perusahaan melakukan juga atas kemauan sendiri
(Warta Pertamina, 2004).
Fajar (2005) mengatakan perilaku para pengusaha pun beragam, dari kelompok yang
sama sekali tidak malaksanakan sampai kelompok yang menjadikan CSR sebagai
nilai inti (core value) dalam menjalankan usaha. Dalam pengamatannya, terkait
dengan praktik CSR, pengusaha dikelompokkan menjadi empat: kelompok hitam,
merah, biru, dan hijau.
Kelompok hitam adalah mereka yang tidak melakukan praktik CSR sama sekali.
Mereka adalah pengusaha yang menjalankan bisnis semata-mata untuk kepentingan
sendiri. Kelompok isi sama sekali tidak peduli pada aspek lingkungan dan sosial
sekelilingnya dalam menjalankan usaha, bahkan tidak memperhatikan kesejahteraan
karyawannya.
Kelompok merah adalah mereka yang mulai melaksanakan praktik CSR, tetapi
memandangnya hanya sebagai komponen biaya yang akan mengurangi keuntungannya.
Aspek lingkungan dan sosial mulai dipertimbangkan, tetapi dengan keterpaksaan
yang biasanya dilakukan setelah mendapat tekanan dari pihak lain, seperti
masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat. Kesejahteraan karyawan baru
diperhatikan setelah karyawan ribut atau mengancam akan mogok kerja. Kelompok
ini umumnya berasal dari kelompok satu (kelompok hitam) yang mendapat tekanan
dari stakeholders-nya, yang kemudian dengan terpaksa memperhatikan isu
lingkungan dan sosial, termasuk kesejahteraan karyawan. CSR jenis ini kurang
berimbas pada pembentukan citra positif perusahaan karena publik melihat
kelompok ini memerlukan tekanan (dan gertakan) sebelum melakukan praktik CSR.
Praktik jenis ini tak akan mampu berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.
Kelompok ketiga adalah mereka yang menganggap praktik CSR akan memberi dampak
positif (return) terhadap usahanya dan menilai CSR sebagai investasi, bukan
biaya. Karenanya, kelompok ini secara sukarela dan sungguh-sungguh melaksanakan
praktik CSR dan yakin bahwa investasi sosial ini akan berbuah pada lancarnya
operasional usaha. Mereka mendapat citra positif karena masyarakat menilainya
sungguh-sungguh membantu. Selayaknya investasi, kelompok ini menganggap praktik
CSR adalah investasi sosial jangka panjang. Mereka juga berpandangan, dengan
melaksanakan praktik CSR yang berkelanjutan, mereka akan mendapat ijin
operasional dari masyarakat. Kita dapat berharap kelompok ini akan mampu
memberi kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.
Kelompok keempat, kelompok hijau, merupakan kelompok yang sepenuh hati
melaksanakan praktik CSR. Mereka telah menempatkannya sebagai nilai inti dan
menganggap sebagai suatu keharusan, bahkan kebutuhan, dan menjadikannya sebagai
modal sosial (ekuitas). Karenanya, mereka meyakini, tanpa melaksanakan CSR,
mereka tidak memiliki modal yang harus dimiliki dalam menjalankan usaha mereka.
Mereka sangat memperhatikan aspek lingkungan, aspek sosial dan kesejahteraan
karyawannya serta melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Kelompok
ini juga memasukkan CSR sebagai bagian yang terintegrasi ke dalam model bisnis
atas dasar kepercayaan bahwa suatu usaha harus mempertimbangkan aspek
lingkungan dan sosial. Mereka percaya, ada nilai tukar (trade-off) atas triple
bottom line (aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial). Buahnya, kelompok ini
tidak saja mendapat citra positif, tetapi juga kepercayaan, dari masyarakat
yang selalu siap membela keberlanjutan usaha kelompok ini. Tak mengherankan,
kelompok hijau diyakini akan mampu berkontribusi besar terhadap pembangunan
berkelanjutan.
Membangun Citra Perusahaan Melalui Program CSR
CSR dan Citra Korporat
Dalam News Of PERHUMAS (2004) disebutkan, bagi suatu perusahaan, reputasi dan
citra korporat merupakan aset yang paling utama dan tak ternilai harganya. Oleh
karena itu segala upaya, daya dan biaya digunakan untuk memupuk, merawat serta
menumbuhkembangkannya. Beberapa aspek yang merupakan unsur pembentuk citra
& reputasi perusahaan antara lain; (1) kemampuan finansial, (2) mutu produk
dan pelayanan, (3) fokus pada pelanggan, (4) keunggulan dan kepekaan SDM, (5)
reliability, (6) inovasi, (7) tanggung jawab lingkungan, (8) tanggung jawab
sosial, dan (9) penegakan Good Corporate Governance (GCG).
Arus globalisasi telah memicu dinamika lingkungan usaha ke arah semakin
liberal, sehingga mendorong setiap entitas bisnis melakukan perubahan pola
usaha melalui penerapan nilai-nilai yang ada dalam prinsip GCG, yakni:
fairness, transparan, akuntabilitas dan responsibilitas, termasuk tanggung
jawab terhadap lingkungan, baik fisik maupun sosial. Berdasarkan pertimbangan
nilai dan prinsip GCG, maka dalam rangka meningkatkan citra dan reputasi dan
sebagai upaya untuk menunjang kesinambungan investasi, setiap enterprise
memerlukan tiga hal:
1. Adil (fair) kepada seluruh stakeholders (tidak hanya kepada shareholders).
2. Proaktif (juga), berperan sebagai agent of change dalam pemberdayaan
masyarakat di daerah operasi.
3. Efisien, berhati-hati dalam pengeluaran biaya yang sia-sia terutama untuk
penyelesaian masalah yang timbul dengan stakeholders fokus di sekitar daerah
operasi.
Corporate Social Responsibility (CSR) telah diuraikan terdahulu bahwa sebagai
suatu entitas bisnis dalam era pasar bebas yang sangat liberal dan hyper
competitive, perusahaan-perusahaan secara komprehensif dan terpadu melakukan
best practices dalam menjalankan usahanya dengan memperhatikan nilai-nilai
bisnis GCG, termasuk tanggung jawab terhadap lingkungan, baik fisik (berkaitan
dengan sampah, limbah, polusi dan kelestarian alam) maupun sosial
kemasyarakatan. Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan diejawantahkan
dalam kebijakan Kesehatan Keselamatan Kerja & Lindungan Lingkungan (K3LL)
dan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibility/CSR).
Berdasarkan sifatnya, pelaksanaan program CSR dapat dibagi dua, yaitu :
1. Program Pengembangan Masyarakat (Community Development/CD); dan
2. Program Pengembangan Hubungan/Relasi dengan publik (Relations
Development/RD).
Sasaran dari Program CSR (CD & RD) adalah: (1) Pemberdayaan SDM lokal
(pelajar, pemuda dan mahasiswa termasuk di dalamnya); (2) Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat sekitar daerah operasi; (3) Pembangunan fasilitas sosial/umum, (4)
Pengembangan kesehatan masyarakat, (5) Sosbud, dan lain-lain.
Seminar “Corporate-Stakeholder Partnership: Toward Productive Relations” yang
diadakan Lead Indonesia bekerjasama dengan Labsosio FISIP UI di Jakarta, 14
Juni 2005 (dalam www.lead.or.id, 2005), menyimpulkan beberapa hal berkaitan
dengan pembentukan citra perusahaan yaitu: perlunya kemitraan, siapa saja
stakeholders, tiga skenario kemitraan, prasyarat kemitraan yang sukses, dan
peran pemerintah dan masyarakat. Pembahasan tersebut menunjukkan bahwa
lingkungan bisnis dan sosial yang berubah menuntut perubahan paradigma dan
tindakan. Dalam hal ini melihat semakin mendesaknya pengembangan kemitraan yang
otentik dan produktif antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat untuk
mencapai pembangunan yang adil serta berkelanjutan secara sosial dan
lingkungan, berikut penjelasannya:
Mengapa Perlu Kemitraan
Kemitraan (partnership) antara korporasi dengan stakeholders menjadi suatu
keharusan dalam lingkungan bisnis yang berubah. Pola konvensional ”business as
usual” telah menghasilkan keadaan negatif seperti terdesaknya kepentingan
publik (“enlightened common interests”), kelangkaan barang jasa publik, dan
pencemaran lingkungan. Demikian pula berbagai dinamika sosial yang muncul
seperti reformasi, demokratisasi dan desentralisasi menghasilkan stakeholders
dan masyarakat yang semakin kiritis. Mereka berupaya meningkatkan taraf
hidupnya serta memposisikan diri sebagai subyek dan mitra yang setara. Dalam
hal ini, korporasi perlu menginternalisasi masalah eksternal perusahaan secara
terencana sehingga dapat mencegah kekagetan dan krisis yang dapat mengancam
keberlangsungan kegiatan dan keberadaan korporasi.
Kemitraan dapat menghasilkan solusi antara argumen yang menekankan market atau
profit ("the business of business is business" yang memprioritaskan
shareholders) dengan argumen moral (atau Corporate Social Responsibility atau
CSR yang memperhatikan stakeholders). Dalam hal ini stakeholders termasuk
lingkungan yang "diam" ("silent" stakeholders atau flora
dan fauna ). Dengan kata lain, kemitraan merupakan suatu investasi—bukan
cost—dan dapat menghasilkan win-win solution atau sinergi yang menghasilkan
keadilan bagi masyarakat dan keamanan berusaha serta keserasian dengan
lingkungan.
Siapa Saja Stakeholders
Kemitraan dengan stakeholders ini memerlukan kejelasan dengan definisi
stakeholders itu sendiri: siapa saja mereka itu? Terdapat pendapat yang
menyatakan pentingnya internal stakeholders dalam setiap perusahaan yakni
karyawan yang juga merupakan primary stakeholders terutama dalam usaha
manufacturing. Jenis usaha sektor lainnya lebih menekankan komunitas sekitar
korporasi seperti dalam usaha ekstraktif (mineral dan tambang). Demikian pula
konsumen dalam sektor jasa maupun suppliers dan usaha kecil (UKM) telah pula
dipandang sebagai stakeholders. Dalam hal ini peran pemerintah lokal,
kabupaten, propinsi dan nasional dianggap pula sebagai stakeholders yang
penting.
Pendefinisian stakeholders penting karena dapat menghindarkan penyamaan atau
penyederhanaan "Tanggung Jawab Sosial" (CSR) dengan
"pengembangan komunitas" atau community development (CD) karena
"CSR is beyond or more than CD." Jelaslah bahwa CSR mencakup berbagai
kegiatan yang mendukung Good Corporate Governance (seperti ketaatan membayar
pajak) dan upaya pecapaian Good Corporate Citizenship. Dalam banyak kasus
seringkali CD mendominasi CSR dan terjadi dalam industri ekstraktif dimana
peran komunitas lingkungan yang sumberdaya alamnya merasa "terambil"
memerlukan pendekatan khusus untuk mencegah konflik.
Hal yang sangat penting dalam kemitraan adalah data dan indikator maupun riset
mengenai siapa saja dan aspirasi mereka (stakeholders’ map and dialogue).
Sebagai contoh data mengenai komunitas, sumber daya air atau potensi UKM (Usaka
Mikro Kecil dan Menengah) akan membantu mengoptimalkan kinerja kemitraan.
Tiga Skenario Kemitraan
Kemitraan antara perusahaan dengan stakeholders dapat mengarah ke tiga
skenario: "un-productive," "semi-productive," atau
"productive." Skenario "un-productive" akan terjadi jika
perusahaan masih berpikir degan pola konvensional yang hanya mengutamakan
kepentingan shareholders atau paradigma "the business of business is
business." Dalam skenario ini situasi "low trust" terjadi dan tiada
stakeholders engagement dimana mereka masih dianggap sebagai obyek dan masalah
diluar perusahaan ("eksternalitas") tidak diinternalisasikan. Dalam
skenario ini kemitraan dapat saja terjadi namun lebih bersifat negatif dengan
stakeholders negatif pula seperti oknum aparat atau preman. Berbagai keadaan
negatif dapat terjadi misalnya pemogokan atau "slow-down" oleh buruh,
boikot oleh konsumer, blokade oleh komunitas, dan pencemaran lingkungan dan
eksploitasi sumber daya alam dengan sewenang-wenang serta pelanggaran HAM
komunitas lokal. Keadaan terburuk yang dapat terjadi adalah terhentinya
kegiatan maupun keberadaan perusahaan.
Pola kedua adalah kemitraan yang "semi-produktif" yang bercirikan
kepentingan jangka pendek dan belum atau tidak menimbulkan "sense of
belonging" di pihak stakeholders. Kerjasama lebih mengandung aspek charity
atau Public Relation (PR) dimana stakeholders masih lebih dianggap sebagai
obyek. Dengan kata lain, kemitraan masih belum otentik (genuine) dan masih
mengedepankan kepentingan diri (self-interest) perusahaan, bukan kepentingan
bersama (common interests) antara perusahaan dengan stakeholders. Dengan kata
lain, shareholders engagement masih disekitar tahap "low trust."
Kemitraan yang "productive" dan otentik menekankan stakeholders
sebagai subyek dan dalam paradigma "common interest." Pola ini dapat
saja didukung oleh "resource-based partnership" dimana stakeholders
diberi kesempatan menjadi shareholders. Sebagai contoh, karyawan memperoleh
saham melalui Employee Stock Ownership Program (ESOP), dan hal ini akan
membantu kelancaran produksi. Demikian pula saham untuk komunitas atau
pemerintah daerah dapat meningkatkan community security. Kasus Exxon di Blok
Cepu menjadi menarik dimana Pemda Bojonegoro direncanakan akan memperoleh 10%
saham. Keadaan ini menimbulkan "sense of belonging" dan high-trust
serta hubungan sinergis antara subyek-subyek dalam paradigma "common
interests."
Ketiga skenario diatas dapat digunakan untuk menganalisis keberadaan kemitraan
setiap perusahaan dan jelaslah terlihat bahwa stakeholders dapat saja lebih
berperan mempengaruhi kehidupan perusahaan dibandingkan dengan shareholders.
Dengan kata lain, dinamika saham (share) di bursa saham dapat sangat
dipengaruhi oleh dinamika stakeholders di lapangan.
Prasyarat Kemitraan yang Sukses
Program kemitraan yang sukses atau "productive" dimulai dengan adanya
kehendak yang kuat dan tulus dari pimpinan di perusahan dan kelompok
stakeholders. Di pihak perusahaan, diperlukan adanya komitmen dari pimpinan
perusahaan (CEO) yang berupaya tanpa henti untuk mengubah paradigma konvensionl
(self-interest) ke paradigma baru (enlightened common interests). Kemitraan
yang sukses dapat pula didorong oleh komisi atau panel independen (Kasus BP di
Tangguh, Papua) yang berfungsi sebagai ombudsman dan melaporkannya pada
pimpinan pusat perusahaan. Selain itu perlu meletakkan posisi unit yang
mengatur kemitraan (CSR) dalam struktur yang cukup penting dalam perusahaan.
Demikian pula staf unit CSR harus mempunyai kompetensi, pengalaman dan
kecakapan sosial (social skills) dan bukanlah "orang buangan" di
perusahaan. Mereka harus sensitif pada kebutuhan dan kondisi lokal termasuk
menghormati simbol, nilai, situs sakral maupun keberadaan pemuka masyarakat.
Mencapai kemitraan yang sukses berarti selalu mempelajari dan mengambil manfaat
dari berbagai kasus yang gagal atau sukses (best practices) di masa lalu.
Selain itu perlu pula sosialisasi pada perusahaan yang masih belum sadar atas
pentingnya kemitraan dan CSR.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Keberadaan dan peran perusahaan tidaklah terlepas dari peran pemerintah dan
masyarakat. Dalam hal ini peran pemerintah sebagai penjamin keamanan dan
penegak hukum serta menciptakan iklim bisnis yang kondusif akanlah sangat
menentukan dalam keberlanjutan hidup perusahaan. Selain itu pemerintah dituntut
untuk melakukan intervensi pasar melalui pajak, subsidi untuk mendorong
penggunaan renewable resources, pengembangan eco-efficiency serta kebijakan
distribusi resources yang mengindahkan equity. Pemerintah juga diharapkan untuk
berinisiatif membentuk forum stakeholders sebagai wadah kemitraan yang disertai
kegiatan dan indikator kinerja yang nyata. Seperti juga perusahaan yang
dituntut untuk melakukan CSR maka pemerintah harus pula memenuhi political
accountability terhadap warga negara pemberi mandat. Saat ini terdapat pro
kontra jika pemerintah daerah kurang berfungsi dan mendorong perusahaan
(terutama dalam industri ekstraktif) menjadi quasi government. Di satu pihak,
hal ini akan menurunkan kewibawaan dan peran pemerintah namun di lain pihak hal
ini merupakan upaya pembelajaran dalam pencapaian good governance. Salah satu
ujian penting dari kinerja pemerintah adalah mensukseskan pelaksanaan otonomi
daerah dan pemilihan kepala daerah sehingga mendukung segitiga kemitraan dengan
perusahaan dan masyarakat.
Demikian juga masyarakat mempunyai peran yang penting sebagai penghubung antara
pemerintah dengan perusahaan. Masyarakat diharapkan menjadi aktif dan
mengkoreksi dampak pembangunan, menyampaikan aspirasi publik serta dinamisator
keberdayaan publik. Dalam hal ini masyarakat harus dapat pula mengatasi
anggotanya yang berperilaku negatif (bad elements of civil society) dengan
pembuatan aturan perilaku (code of conducts). Pemberian "mandat
sosial" bagi perusahaan untuk beroperasi hendaknya didukung pula oleh
"proteksi sosial." Hal ini akan semakin mendesak jika terjadi
pemberian saham yang dapat saja menimbulkan konflik di dalam masyarakat
sendiri. Dengan kata lain, good governance perlu dikembangkan pula di masyarakat
selain di pemerintah dan perusahaan.
Kebijakan Publik untuk CSR
Petkoski dan Twose (2003) mengatakan walaupun agenda CSR saat ini sedang
didewasakan, istilah "CSR" belum mengambil banyak peran di sektor
publik, baik di negara industri atau negara berkembang. Sebagian pemerintah
yang berinisiatif melakukannya dijuluki sebagai “pro-CSR initiatives”, meskipun
begitu banyak orang sudah mendukung secara efektif promosi tentang tanggung
jawab sosial yang lebih besar. Sebagai contoh, perangsang utama aktivitas
sektor publik yang mempromosikan barang ekspor dan barang-barang pendukung atau
jasa cukuplah untuk mendapat tambahan devisa, tapi mereka masih mempunyai
dampak positif dengan memberi harapan bertanggung jawab produksi.
Para agen sektor publik yang tidak menggunakan
ungkapan “corporate social responsibility” tidak melakukan kegiatan apa pun.
Tantangannya adalah mengidentifikasi prioritas dan inisiatif dalam kaitan
dengan pembangunan lokal dan nasional berdasar pada kapasitas dan inisiatif. Ada satu kesempatan
penting bagi sektor publik di negara berkembang untuk memanfaatkan gairah
"CSR" sekarang ini, sepanjang berada dalam tujuan dan prioritas
kebijakan publik dan mendorong pengakuan keduanya.
Perhatian yang bertumbuh seiring dengan potensi prioritas sektor publik dan CSR
pada aktivitas bisnis, paling sedikit mengenai sosial dan praktik manajemen
lingkungan ke hulu industri ekstraktif. Hal ini menerima tanpa bukti: bagaimana
mungkin kebijakan publik dirumuskan untuk memperkuat kesejajaran, sedangkan kepastian
itu menghasilkan intervensi keduanya 'optimal'––baik untuk bisnis dan
development––dan 'feasible'––dalam batasan hubungan kelembagaan para agen
sektor publik dan pengarah nilai bisnis. Tabel yang dirumuskan World Bank di
bawah ini memberikan gambaran potensi kesejajaran antara CSR dalam praktek
bisnis serta kebijakan dan tanggungjawab sektor publik.
Penerapan CSR yang Lebih Strategis
Aryani (2006) mencatat bahwa konsep dan praktik CSR sudah menunjukkan gejala
baru sebagai keharusan yang realistis diterapkan. Para
pemilik modal tidak lagi menganggap sebagai pemborosan. Masyarakat pun menilai
sebagai suatu yang perlu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kesadaran sosial
kemanusiaan dan lingkungan. Di luar itu, dominasi dan hegemoni perusahaan besar
sangat penting peranannya di masyarakat. Kekuasaan perusahaan yang semakin
besar, sebagaimana dinilai Dr David Korten, penulis buku When Corporations Rule
the World melukiskan bahwa dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah
menjelma menjadi institusi yang paling berkuasa di jagad ini.
Bahkan pengamat globalisasi Dr Noorena Herzt (dalam Aryani, 2006) berpendapat
bahwa perusahaan-perusahaan besar di berbagai negara telah mengambil alih
secara diam-diam kekuasaan politik dari kalangan politisi. Pengambilalihan
secara diam-diam (the silent take over) ini terjadi karena kian ketatnya produk
hukum yang menuntut tanggungjawab sosial kaum pemodal. Akibatnya, menurut
Noorena, pemodal harus masuk dalam dunia politik agar tidak terus terpojok
dengan tuntutan politik pemerintah dan masyarakat. Bahkan menurut Noorena,
dalam satu dasawarsa terakhir ini, peranan CSR perusahaan besar sangat berperan
di masyarakat ketimbang peranan institusi publik (negara). Memang pada
kenyataannya kita tidak bisa mengelak perubahan mendasar dunia sebagaimana
dikatakan Noorena tersebut. Dunia telah menjelma realitas di mana kapitalisme
menjadi panggung yang absah bagi kehidupan kita. Berpijak pada reel kapitalisme
global inilah seluruh tanggung jawab kehidupan umat manusia harus selalu
mempertimbangkan kepentingan para pebisnis. Pertimbangan bukan berarti harus
tunduk, melainkan harus saling menjaga kepentingan.
Kapitalisme dikatakan Aryani (2006) tidak identik dengan pengerukan modal tanpa
pertimbangan sosial. Bahkan untuk era baru sekarang ini, kapitalisme hanya bisa
berkembang baik jika bersinergi dengan dunia sosial. Sejalan dengan itu,
masyarakat modern sudah menjauh dari sikap anti kapitalisme. Ideologi, baik
sosialisme maupun kapitalisme sudah menjauh dari imajinasi orang. Hanya saja
karena kapitalisme telah menjadi realitas, maka jalur kehidupan masyarakat mau
tidak mau harus melewati reel kapitalisme. Kini orang menyadari bahwa yang
terpenting bukanlah ideologi, melainkan sikap kompromi untuk menemukan jalan
terbaik. Karena itu, pemerintah tidak boleh tunduk oleh kaum pemodal,
sebagaimana kaum pemodal tidak boleh tunduk oleh politisi. Rakyat, pemerintah
dan pemodal harusnya berada dalam pihak yang setara merumuskan strategi
kebijakan publik untuk kepentingan bersama. Di negara kapitalis, penciptaan
ruang publik yang demikian itu sudah berjalan. Bahkan peranan CSR perusahaan
sangat menguntungkan pemodal. Pemerintah juga untung karena selain mudah melobi
pembayaran pajak juga terbantu tanggungjawab sosialnya kepada rakyat miskin.
Pakar pemasaran Craig Semit (dalam Aryani, 2006) yang merintis pendekatan baru
CSR yang dia sebut The Corporat Philanthropy berpendapat bahwa kegiatan CSR
harus disikapi secara strategis dengan melakukan alighment (penyelarasan)
inisiatif CSR yang relevan dengan produk inti (core product) dan pasar inti
(core market), membangun indentitas merek (brand indentity), bahkan lebih tegas
lagi untuk menggaet pangsa pasar, melakukan penetrasi pasar, atau menghancurkan
pesaing. Kegiatan CSR yang diarahkan memperbaiki konteks korporat inilah yang
memungkinkan alighment antara manfaat sosial dan bisnis dari kegiatan CSR yang
muaranya untuk meraih keuntungan materi dan keuntungan sosial dalam jangka
panjang. CSR tidak haram dipraktikkan, bahkan dengan target mencari untung.
Yang terpenting adalah kemampuan menerapkan strategi. Jangan sampai karena CSR
biaya operasional justru menggerogoti keuangan. Jangan pula karena praktik CSR
masyarakat justru antipati.
Peran PR dalam Implementasi CSR
Idris (2005) mengemukakan sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam
rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri di sebuah kawasan,
dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholders yang difasilitasi
perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat
sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi
dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik
lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan seyogianya
mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (Sustainability
development).
Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat
miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola
pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi
ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial
budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholders inti diharapkan
mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Dalam implementasi program-program dalam CSR, diharapkan ketiga elemen di atas
saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif
masing-masing stakeholders agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog
secara komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholders
diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban
dari implementasi CSR akan di emban secara bersama.Tapi dalam hal memandang dan
menyikapi CSR ke depan, sesungguhnya perlu ada kajian dan sosialisasi yang
serius di internal perusahaan dari semua departemen di dalamnya. Paling tidak
untuk menyamakan persepsi di antara pelaku dan pengambil kebijakan di dalam
satu perusahaan, karena perubahan paradigma pengelolaan perusahaan yang terjadi
saat ini, baik ditingkat lokal maupun global, tidak serta merta dipahami oleh
pengelola dan pengambil kebijakan di satu perusahaan sehingga pemahaman akan
wacana dan implementasi CSR beragam pula, dan otomatis akan mengalami
hambatan-hambatan secara internal perusahaan.
Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren global
seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap
produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan
kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak azasi manusia (HAM). Bank-bank di
Eropa menerapkan kebijakan dalam pemberian pinjaman hanya kepada perusahaan
yang mengimplementasikan CSR dengan baik. Sebagai contoh, bank-bank Eropa hanya
memberikan pinjaman pada perusahaan-perusahaan perkebunan di Asia
apabila ada jaminan dari perusahaan tersebut, yakni ketika membuka lahan
perkebunan tidak dilakukan dengan membakar hutan.
Menghadapi tren global dan resistensi masyarakat sekitar perusahaan, maka sudah
saatnya setiap perusahaan memandang serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi dan
lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta berusaha membuat laporan
setiap tahunnya kepada stakeholders-nya. Laporan bersifat non financial yang
dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial,
ekonomi dan lingkungannya.
Kemudian diharapkan sosialisasi wacana dan tren CSR ini, tidak hanya bergulir
di lingkup manajemen perusahaan tetapi juga kepada semua shareholders dan
stakeholders secara luas, agar implementasinya berlangsung secara elegan,
dengan harapan perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sebagai komponen
shareholders dan stakeholders bisa mengambil peran yang signifikan, untuk
mengeliminir resistensi kelompok-kelompok yang senantiasa mengatasnamakan
masyarakat untuk melakukan “pemerasan” kepada perusahaan dengan mengusung
tema-tema CSR dalam setiap aksinya, tapi tidak mengerti substansi CSR itu
sendiri, dan miskin data.
Dalam implementasi CSR ini public relations (PR) mempunyai peran penting, baik
secara internal maupun eksternal. Dalam konteks pembentukan citra perusahaan,
di semua bidang pembahasan di atas boleh dikatakan PR terlibat di dalamnya,
sejak fact finding, planning, communicating, hingga evaluation. Jadi ketika
kita membicarakan CSR berarti kita juga membicarakan PR sebuah perusahaan, di
mana CSR merupakan bagian dari community relations. Karena CSR pada dasarnya
adalah kegiatan PR, maka langkah-langkah dalam proses PR pun mewarnai
langkah-langkah CSR.
Irianta (2004) memandang community relations berdasarkan dua pendekatan.
Pertama, dalam konsep PR lama yang memosisikan organisasi sebagai pemberi
donasi, maka program community relations hanyalah bagian dari aksi dan
komunikasi dalam proses PR. Bila berdasarkan pengumpulan fakta dan perumusan
masalah ditemukan bahwa permasalahan yang mendesak adalah menangani komunitas,
maka dalam perencanaan akan disusun program community relations. Ini kemudian
dijalankan melalui aksi dan komunikasi. Kedua, yang memosisikan komunitas sebagai
mitra, dan konsep komunitasnya bukan sekedar kumpulan orang yang berdiam di
sekitar wilayah operasi organisasi, community relations dianggap sebagai
program tersendiri yang merupakan wujud tanggungjawab sosial organisasi.
Dengan menggunakan tahapan-tahapan dalam proses PR yang bersifat siklis, maka
program dan kegiatan CSR dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut:
1. Pengumpulan Fakta
Banyak permasalahan yang dihadapi masyarakat sekitar daerah operasional
perusahaan. Mulai dari permasalahan lingkungan seperti polusi, sanitasi
lingkungan, pencemaran sumber daya air, penggundulan hutan sampai dengan
permasalahan ekonomi seperti tingkat pengangguran yang tinggi, sumber daya
manusia yang tidak berketerampilan, rendahnya kemauan berwirausaha dan tingkat
produktivitas individu yang rendah.
PR bisa mengumpulkan data tentang permasalahan tersebut dari berbagai sumber,
misalnya dari berita media massa,
data statistik, obrolan warga, atau keluhan langsung dari masyarakat. Selain
itu masih banyak sumber yang bisa digunakan untuk mengumpulkan fakta mengenai
persoalan sosial yang dihadapi komunitas. PR juga bisa menelusuri
laporan-laporan hasil penelitian yang dilakukan perguruan tinggi atau LSM
mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat.
2. Perumusan Masalah
Masalah secara sederhana bisa dirumuskan sebagai kesenjangan antara yang
diharapkan dengan yang dialami, yang untuk menyelesaikannya diperlukan
kemampuan menggunakan pikiran dan keterampilan secara tepat. Misalnya, dari
pengumpulan fakta diketahui salah satu masalah yang mendesak dan bisa
diselesaikan dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki organisasi adalah
rendahnya keterampilan para pemuda sehingga tak bisa bersaing di pasar kerja
atau tak bisa diandalkan untuk membuka lapangan kerja bagi dirinya. Berdasarkan
hal tersebut, maka dirumuskan permasalahan: Rendahnya keterampilan kerja pemuda
lulusan sekolah menengah.
Namun tidak semua pemuda tamatan sekolah menengah yang rendah tingkat
keterampilan kerjanya yang diidentifikasi sebagai masalah. Namun terbatas pada
komunitas sekitar lokasi perusahaan atau di beberapa kota. Jadi, dalam merumuskan masalah tersebut
PR mulai memfokuskan pada komunitas organisasi. Bila komunitasnya dirumuskan
secara sederhana, berarti komunitas berdasarkan lokasi yakni komunitas sekitar
wilayah operasi korporat. Namun bila komunitasnya dipandang sebagai struktur
interaksi maka komunitas tersebut lepas dari pertimbangan kewilayahan, tetapi
lebih pada pertimbangan kesamaan kepentingan.
3. Perencanaan dan Pemrograman
Perencanaan merupakan sebuah prakiraan yang didasarkan pada
fakta dan informasi tentang sesuatu yang akan terwujud atau terjadi nanti.
Untuk mewujudkan apa yang diperkirakan itu dibuatlah suatu program. Setiap
program biasanya diisi dengan berbagai kegiatan. Kegiatan sebagai bagian dari
program merupakan langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan program guna
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Kembali kepada perumusan masalah tentang rendahnya keterampilan kerja pemuda
lulusan sekolah menengah, maka PR menyusun rencana untuk mencapai tujuan agar
para pemuda lulusan sekolah menengah itu memiliki keterampilan kerja yang bisa
digunakan untuk mencari kerja atau membuka lapangan kerja bagi dirinya sendiri.
Untuk mencapai tujuan tersebut, program yang disusun misalnya menyelenggarakan
program pendidikan dan pelatihan bagi mereka.
4. Aksi dan Komunikasi
Aspek dari aksi dan komunikasi inilah yang membedakan kegiatan community
relations dalam konteks PR dan bukan PR. Di mana watak PR ditampilkan lewat
kegiatan komunikasi. PR pada dasarnya merupakan proses komunikasi dua arah yang
bertujuan untuk membangun dan menjaga reputasi dan citra organisasi di mata
publiknya. Karena itu, dalam program CSR selalu ada aspek bagaimana menyusun
pesan yang ingin disampaikan kepada komunitas, serta melalui media apa dan cara
bagaimana.
Sedangkan aksi dalam implementasi program yang sudah direncanakan, pada
dasarnya sama saja dengan implementasi program apa pun. Kembali pada contoh
kasus awal, ketika program pendidikan dan pelatihan keterampilan itu
dijalankan, harus ada ruangan, baik untuk penyampaian teori maupun bengkel
kerja sebagai tempat praktik. Di situlah aksi pendidikan dan pelatihan
dijalankan. Di dalamnya tentu saja ada komunikasi yang menjelaskan kenapa
program itu dijalankan, juga masalah tanggungjawab sosial organisasi pada
komunitasnya sehingga memilih untuk menjalankan program kegiatan tersebut.
Dengan begitu diharapkan akan berkembang pandangan yang positif dari komunitas
terhadap organisasi sehingga reputasi dan citra organisasi menjadi baik.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan keharusan pada setiap akhir program atau kegiatan untuk
mengetahui efektivitas dan efisiensi program. Berdasarkan hasil evaluasi ini
bisa diketahui apakah program bisa dilanjutkan, dihentikan atau dilanjutkan dengan
melakukan beberapa perbaikan dan penyempurnaan. Namun dalam konteks community
relations perlu diingat bahwa evaluasi bukan hanya dilakukan terhadap
penyelenggaraan program atau kegiatan belaka. Melainkan juga dievaluasi
bagaimana sikap komunitas terhadap organisasi. Evaluasi atas sikap publik ini
diperlukan karena, pada dasarnya community relations ini meski merupakan wujud
tanggungjawab sosial organisasi, tetap merupakan kegiatan PR.
Penutup
Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan wacana yang sedang mengemuka
di dunia bisnis atau perusahaan. Wacana ini digunakan oleh perusahaan dalam
rangka mengambil peran menghadapi perekonomian menuju pasar bebas. Namun
kenyatannya CSR tidak serta merta dipraktikkan oleh semua perusahaan. Ada juga yang berhasil
memberikan materi riil kepada masyarakat, namun di ruang publik nama perusahaan
gagal menarik simpati orang. Hal ini terjadi karena CSR dilakukan secara latah
dan tidak didukung konsep yang baik. Sebenarnya substansi keberadaan CSR adalah
dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri di sebuah kawasan,
dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholders yang difasilitasi
perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat
sekitarnya.
Ketika kita membicarakan CSR berarti kita juga membicarakan PR sebuah
organisasi, di mana CSR merupakan bagian dari community relations. Karena CSR
pada dasarnya adalah kegiatan PR, maka langkah-langkah dalam proses PR pun
mewarnai langkah-langkah CSR. Dengan menggunakan tahapan-tahapan dalam proses
PR yang bersifat siklis, maka program dan kegiatan CSR juga dilakukan melalui
pengumpulan fakta, perumusan masalah, perencanaan dan pemrograman, aksi dan
komunikasi, serta evaluasi untuk mengetahui sikap publik terhadap organisasi.
Untuk ke depan disarankan agar pengembangan program CSR mengacu pada konsep
pembangunan yang berkelanjutan (Sustainability development). Prinsip
keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin
dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola
pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi
ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial
budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholders inti diharapkan
mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Daftar Pustaka
Anggoro, Linggar. 2002. Teori dan Profesi Kehumasan. Serta Aplikasinya di
Indonesia. Cetakan Ketiga. Bumi Aksara, Jakarta.
Ardianto, Elvinaro dan Sumirat, Soleh. 2004. Dasar-dasar Public Relations.
Cetakan Ketiga. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Aryani, Situ Nur. 2006. Penerapan CSR yang Lebih Strategis. Dokumen http://www.bisnis.com/, Sabtu, 01 April 2006.
Fajar, Rudi. 2005. Spektrum Pelaku CSR. Dokumen http://www.swa.co.id/
, Senin, 30 Mei 2005.
Greener, Toni. 2002. Public Relations dan Pembentukan Citranya. Cetakan Ketiga.
Bumi Aksara, Jakarta.
Hubeis, Musa.
2001. Publik Relesen sebagai Perangkat Manajemen dalam Organisasi. Makalah
Seminar Nasional Peran Public Relations dalam Pembangunan Pertanian Efektif dan
Berkesinambungan, yang diselenggarakan oleh PS KMP dan PS MPI, PPS IPB di Hotel
Salak, 19 April 2001.
Hutapea, EB. 2000. Public Relations sebagai Fungsi Manajemen. Majalah WIDYA
Agustus 2000, No. 179 Tahun XVII.
Idris, Abdul Rasyid. 2005. Corporate Social Responsibility (CSR) Sebuah Gagasan
dan Implementasi. Dokumen http://www.fajar.co.id/,
22 November 2005.
Irianta, Yosal. 2004. Community Relations. Konsep dan Aplikasinya. Simbiosa
Rekatama Media, Bandung.
Jefkins, Frank. 2003. Public Relations. Edisi Kelima. Direvisi Oleh Daniel
Yadin. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Lead Indonesia.
2005. Kemitraan Korporasi-Stakeholders. Report Seminar Corporate-Stakeholder
Partnership: Toward Productive Relations Lead Indonesia Bekerjasama dengan
Labsosio-Fisip-UI, Jakarta,
14 Juni 2005. Dokumen http://www.lead.or.id/,
27 Oktober 2005.
News of PERHUMAS. 2004. CSR dan Citra Corporate. Dokumen http://www.perhumas.or.id/, 15 - 16 Juni
2004.
Octavia, Sutjiati. 2003. Corporate Public Relation dalam Dunia Usaha. Majalah
Bank & Manajemen, Mei – Juni 2003.
Petkoski, Djordjija and Twose, Nigel (Ed). 2003. Public Policy for Corporate
Social Responsibility. Jointly sponsored by The World Bank Institute, the
Private Sector Development Vice Presidency of the World Bank, and the
International Finance Corporation. Document of http://info.worldbank.org/ July 7–25,
2003.