Lobby Dan Negosiasi

konsep Lobi dan Negosiasi
adalah merupakan suatu keharusan. Karena pergaulan kemasyarakatan baik di tingkat lokal, nasional maupuninternasional memerlukan pelobi-pelobi dan negosiator yang handal (komunikabilitas) untuk dapat mencegah tidak terjadi dan berkembangnya suatu konflik yang berkepanjangan yang pada gilirannya menjadi suatu bentrokan fisik, bahkan peperangan. Kata

Lobi, negosiasi, dan globalisasi.
Adalah hal yang jamak, apabila dalam sekumpulan orang terdapat berbagai perbedaan dalam pandangan, sikap, dan tingkah laku dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik di lingkup lokal, maupun nasional dan internasional. Tuhan menciptakan manusia berbangsa-angsa, berjenis-jenis, berbagai karakter dengan kecerdasan dan ketajaman pikiran yang berbeda pula. Sebagian manusia sangat cerdas, berdisiplin, jujur, sabar, dan bertanggung jawab, namun sebagian lagi ada yang kurang cerdas, emosional/cepat marah, suka berbohong, indisipliner dan tidak bertanggung jawab. Kondisi kodrat seperti itu merupakan salah satu sumber penyebab; mengapa tidak semua persoalan mendapat tanggapan yang sama dan penyelesaiannya juga berbeda? Apakah perbedaan perbedaan yang terjadi yang berpotensi menjadi silang pendapat bahkan tindak kekerasan terus saja dibiarkan?

Banyak kasus yang berawal dari silang pendapat bermuara menjadi tindak kekerasan; lihat tindak kekerasan dalam rumah tangga biasanya bermula dari silang pendapat. Begitu pula halnya silang pendapat tentang sebuah RUU boleh jadi berpotensi menjadi sebuah kerusuhan antara kelompok yang pro dan kontra, misalnya RUU-APP. Tindak kekerasan dan/atau konflik fisik dirasakan sebagai hal yang sangat merugikan salah satu pihak bahkan kedua-duanya. Tindak kekerasan bukan saja dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah dengan baik dan tuntas, tetapi juga menelan biaya yang besar yang seharusnya bisa dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (lihat berapa jumlah biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelesaikan konflik Aceh?).

Masyarakat luas pada umumnya sudah tidak lagi bisa menerima tindak kekerasan yang sangat bertentangan dengan HAM. Dalam lingkungan kehidupan organisasi kemasyarakatan, baik sosial, ekonomi maupun politik, upaya untuk mencapai sasaran dengan menggunakan kekerasan atau berdasarkan kekuatan otot belaka sudah bukan jamannya. Dalam menyelesaikan suatu perbedaan/pertentangan diperlukan dialog dan musyawarah melalui lobi dan negosiasi, meskipun adakalanya berlangsung alot dan membutuhkan waktu relatif lama (lihat konflik Aceh yang berlangsung puluhan tahun).

Dewasa ini proses lobimelobi ; baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional yang serba global menjadi semakin penting, karena penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang atau kekerasan guna mendapatkan konsesi atau persetujuan tidak lagi dapat diterima atau dianggap llegitimate. Dalam hubungan inilah, maka lobi dan negosiasi dapat merupakan solusi bagi mencegah berkembangnya pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk pergaulan internasional dalam orbit global.

B. Lobi dan Negosiasi Sebagai Suatu Konsep

Melakukan lobi dan negosiasi harus sesuai dengan prinsip- prinsip, strategi, teknik, dan taktik, esensi dan fungsinya, oleh karena itu disebut sebagai suatu konsep. Untuk memahami konsep termaksud perlu mensiasati terlebih dahulu pengertian atau definisi dari lobi dan negosiasi.

1.Pengertian Lobi (Lobbying)
Menurut kamus Webster, Lobby atau Lobbying berarti: Melakukan aktivitas yang bertujuan mempengaruhi pegawai umum dan khususnya anggota legislatif dalam pembuatan peraturan.

Menurut Advanced English & ndash; Indonesia Dictionary, Lobby atau Lobbying berarti: Orang atau kelompok yang mencari muka untuk mempengaruhi anggota Parlemen. Sedangkan Lobbyist berarti: Orang yang mencoba mempengaruhi pembuat undang-undang;. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Melobi ialah melakukan pendekatan secara tidak resmi, sedangkan pelobian adalah bentuk partisipasi politik yang mencakup usaha individu atau kelompok untuk menghubungi para pejabat pemerintah atau pimpinan politik dengan tujuan mempengaruhi keputusan atau masalah yang dapat menguntungkan sejumlah orang.

Dalam tulisan ini istilah lobby atau Lobbying di Indonesia-kan menjadi Lobi, sedangkan istilah lobbyist di Indonesia-kan menjadi Pelobi, yaitu orang yang melakukan Lobi. Definisi Lobi dapat disusun sebagai Suatu upaya pendekatan yang dilakukan oleh satu pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk memperoleh dukungan dari pihak lain yang dianggap memiliki pengaruh atau wewenang dalam upaya pencapaian tujuan yang ingin dicapai

2. Pengertian Negosiasi
Negosiasi (Negotiation) dalam arti harfiah adalah negosiasi atau perundingan. Negosiasi adalah komunikasi timbal balik yang dirancang untuk mencapai tujuan bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Negosiasi memiliki dua arti, yaitu:
1) Proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain;

2) Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Secara ringkas dapat dirumuskan, bahwa Negosiasi adalah suatu proses perundingan antara para pihak yang berselisih atau berbeda pendapat tentang sesuatu permasalahan.

3. Esensi Lobi dan Negosiasi Walaupun bentuknya berbeda, Namur esensi Lobi dan Negosiasi; mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai sesuatu target (objective) tertentu. Lobi-lobi atau negosiasi harus diperankan oleh Pelobi (Lobyiest) yang mahir dan mempunyai kemampuan berkomunikasi yang tinggi (komunikabilitas). Hanya saja ;Negosiasi merupakan suatu proses resmi atau formal. Sedangkan Lobi merupakan bagian dari Negosiasi atau dapat pula dikatakan sebagai awal dari suatu proses Negosiasi.

4. Lobi sebagai awal Negosiasi
Dewasa ini upaya lobi-melobi bukan lagi monopoli dunia politik dan diplomasi, tetapi juga banyak dilakukan para pelaku bisnis, selebritis dan pihak-pihak lain termasuk PNS rendahan. Istilah Lobi yang berarti teras atau serambi ataupun ruang depan yang terdapat pada suatu bangunan atau hotel-hotel yang dijadikan sebagai tempat duduk tamu-tamu. Sambil duduk-duduk dan bertemu secara santai, seraya berbincang-bincang untuk membicarakan sesuatu mulai dari hal yang ringan-ringan sampai kepada masalah politik dan pemerintahan dalam negeri bahkan luar negeri, baik dalam rangka pendekatan awal sebelum pelaksanaan negosiasi maupun secara berdiri sendiri untuk kepentingan lobi itu sendiri.

Biasanya lobi-lobi dilakukan sebagai pendekatan dalam rangka merancang sesuatu perundingan. Apabila lobi berjalan mulus diyakini akan menghasilkan perundingan yang sukses.

5. Negosiasi sebagai suatu Fungsi dan Sarana
Istilah Negosiasi sebenarnya berawal dari dunia diplomasi yaitu dunia yang digeluti oleh para diplomat (Dubes, Duta, Kuasa Usaha, Konsul, dan lainlain) dalam melakukan kegiatan sesuai kepentingan negaranya di negara mana mereka bertugas.

Jadi, negosiasi adalah merupakan salah satu fungsi utama dari para Diplomat. Oleh karena itu, dalam pergaulan internasional hampir setiap negara menempatkan diplomat-diplomatnya di negara-negara sahabat. Meskipun istilah dan praktik negosiasi berawal dari dunia diplomasi, namun dewasa ini sudah menjadi sarana pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam dimensi eksternal maupun dimensi domestik.

Kata kunci Negosiasi; persetujuan yang dapat diterima oleh para pihak”. Kata kunci ini berlaku bagi segala macam Negosiasi, seperti:
a. Negosiasi diplomatik
b. Negosiasi perdagangan internasional (bilateral maupun multilateral)
c. Negosiasi global (seperti negosiasi sengketa utara – selatan)
d. Negosiasi antara buruh dan majikan
e. Negosiasi antara penjual dan pembeli
f. Negosiasi antara dua korporasi yang ingin melakukan merger atau aliansi strategik.
g. Negosiasi pembentukan joint venture
h. Negosiasi mengenai investasi langsung (direct investment)
i. Negosiasi pilkada
j. Negosiasi pemenangan tender, dan sebagainya.

6. Prinsip, Strategi, Teknik, dan Taktik Lobi dan Bernegosiasi
Lobi memiliki beberapa karakteristik yaitu bersifat informal dalam berbagai bentuk, pelakunya juga beragam, dapat melibatkan pihak ketiga sebagai perantara, tempat dan waktu fleksibel dengan pendekatan satu arah oleh pelobi.

Ada beberapa cara untuk melakukan lobi baik yang legal maupun ilegal, secara terbuka maupun tertutup/rahasia, secara langsung ataupun tidak langsung. Sebagai contoh: upaya penyuapan dapat dikategorikan sebagai lobi secara langsung, tertutup dan ilegal. Lobi semacam ini jelas melanggar hukum, namun karena bersifat tertutup/rahasia, agak sulit untuk membuktikannya (contoh: kasus-kasus lobi pemenangan tender dengan pendekatan gula-gula/wanita, seperti yang sering diberitakan diberbagai mass media).

C. Modal dan Model Negoisasi

1. Modal Negosiasi a. Menurut sejumlah ilmuwan Sosial, yaitu: French dan Roven, Baldridge dan Kanter dalam Mufid A. Busyairi, (1997). Ada beberapa sumber kekuatan dalam melakukan Negosiasi, yaitu:
1) otoritas,
2) informasi dan keahlian,
3) kontrol terhadap penghargaan,
4) kekuatan memaksa dengan kekerasan,
5) aliansi dan jaringan,
6) akses terhadap dan kontrol kepada agenda,
7) mengendalikan tujuan dan simbol-simbol, dan
8) kekuatan personal.

Di samping delapan modal tersebut di atas, sebelum menetapkan aktor/pelobi/perunding, tempat dan waktu perundingan, pendekatan dan target. Keberhasilan Lobi adalah merupakan modal yang tidak kalah pentingnya. Strategi, teknik dan taktik Negosiasi yang telah dirancang dengan baik dengan memenuhi prinsip-prinsip bernegosiasi adalah juga merupakan modal yang dapat menentukan keberhasilan Negosiator dalam bernegosiasi, termasuk di dalamnya kemampuan berkomunikasi.

Strategi yang dimaksud adalah:
1) Negosiator harus tahu persis target (objective) yang ingin dicapai.
2) Negosiator harus memiliki wewenang untuk melakukan negosiasi.
3) Negosiator harus mendalami masalah-masalah yang dirundingkan dengan baik.
4) Negosiator harus mengenali mitra rundingnya dengan baik.
5) Negosiator harus memahami hal-hal yang prinsip dan bukan prinsip.

Model negosiasi
Model Pendekatan Negosiasi Belajar dari banyak kasus Negosiasi yang pernah terjadi menunjukkan adanya dua model pendekatan negosiasi, yaitu:

a. Model Pendekatan Kooperatif
Model pendekatan ini disebut juga model Pemecahan Masalah Bersama atau Model Menang-menang;. Menurut Schoonmaker (1989) yang dikutip Mufid A. Busyairi (1997), Negosiasi Menang-menang layak dilakukan jika masalah yang dinegosiasikan menyangkut kepentingan bersama dan antar pihak yang bernegosiasi terdapat hubungan saling percata mempercayai.

Oleh karena itu, tindakan yang disarankan oleh Thorn (dalam Mufid A. Busri, 1997) yang perlu dilakukan dalam negosiasi menang-menang adalah:
1) memastikan bahwa pihak lain memilih model menang-menang (bukan mau menang sendiri),
2) mengenali masalah yang dihadapi (tidak membahas pemecahan sebelum mengenal masalah), 3) menangani masalah yang berpotensi mempunyai pemecahan yang menghasilkan menang-menang.
4) saling membagi informasi,
5) memberi tanda-tanda positif kepada pihak lain seperti memberi hadiah-hadiah,
6) menghindari sikap bertahan dan memberikan persetujuan jika iklimnya sesuai,
7) menghindari sedapat mungkin pendekatan legalistik.

Negosiasi menang-menang adalah merupakan model negosiasi yang lebih besar peluang keberhasilannya bila dibanding dengan negosiasi menang-kalah (lihat peristiwa Aceh!). Kemenangan yang diperoleh adalah kemenangan bersama, karena pemecahan yang dihasilkan mengacu kepada fokus interes bersama bukan berdasar pada posisi masing-masing pihak.

b. Model Pendekatan Kompetitif
Model ini sering juga disebut dengan istilah model pendekatan menang-kalah”. Menurut Thorn yang dikutip oleh Mufid A. Busyairi (1997), untuk memenangkan negosiasi model menang-kalah agar menempuh 4 (empat) langkah:
1) menjelaskan komitmen kita secara tegas tentang apa yang kita inginkan.
2) menunjukkan akibat-akibat yang akan terjadi jika keinginan tersebut tidak tercapai.
3) menghadang lawan untuk mencapai keinginannya.
4) Menunjukkan jalan keluar yang bisa menyelamatkan muka lawan dengan menawarkan konsesi penghibur.

Model menang-kalah ini tidak selalu dalam bentuk kekerasan seperti menggunakan ancaman, teror, pembunuhan sampai dengan perang dan/atau kekerasan lainnya. Model menang-kalah apabila telah menjadi pilihan menandakan adanya sikap bahwa pihak lawan tidak bisa diajak berkawan (kawan bermasyarakat, bernegara dan berpolitik) tetapi telah menempatkan lawan negosiasi sebagai musuh atau sebagai pihak yang dikuasai. Cara negosiasi dengan kekesaran dapat dicermati dalam film;Goodfather; karya Puzo. Dengan menggenggam sepucuk senapan yang sudah dikokang dengan menodongkan arah kepala, sang aktor berkata akan saya berikan tawaran yang tidak bisa anda tolak. Anda tandatangani atau otak Anda akan berceceran di atas kontrak ini. Memang negosiasi model menang-kalah tidak efisien dan sering tidak menghasilkan apa-apa karena tidak mampu menggunakan peluang yang ada untuk keuntungan bersama.




D. Praktik Lobi dan Negosiasi: Beberapa Kasus
Beberapa kasus pertentangan yang dimulai dari perbedaan kepentingan sampai pada pertentangan politik tingkat lokal, nasional dan internasional dapat diselesaikan melalui lobi atau negosiasi, baik secara kooperatif maupun kompetitif di antaranya adalah:
1.Kasus Pilkada Pada tahun 2000, sekitar bulan April di salah satu kabupaten di Pulau Sumatera melangsungkan pesta demokrasi, yaitu pemilihan Bupati/Wakil Bupati daerah setempat (belum pemilihan langsung). Lobi-lobi dan negosiasi antara para calon dengan partai politik sebagai perahu tumpangan dan para anggota DPRD sebagai pemilik suara (one man one vote) berlangsung “dahsyat”. Berbagai pendekatan dilakukan; mulai dari lobi-lobi ringan dengan memberikan bingkisan lebaran kepada para anggota Dewan, sampai dengan perundingan-perundingan yang berat, seperti: money politic yang bervariasi;one man two hundred; one man one car; pilih kuda atau kijang (di teror atau menerima hadiah mobil kijang), melakukan pendekatan paksa yaitu memboyong anggota Dewan yang diperkirakan akan memilih calon lainnya kalau tidak boleh dikatakan mengkerangkeng” yang dikenal dengan istilah “serangan fajar”. Bentuk/model pendekatan manapun yang dipakai oleh para Tim Sukses dari masing-masing calon, kesemuanya adalah terpulang kepada kemampuan berkomunikasi yang komunikabilitas. Hanya saja teknik yang digunakan ada yang bersifat kooperatif dan ada pula yang kompetitif yaitu dengan menghalalkan segala cara; pokoknya menang (terpilih menjadi Bupati/Wakil Bupati). Pada akhirnya calon yang kurang efektif dalam lobi-melobi dan bernegosiasi akan tersingkir, walaupun oleh masyarakat calon yang menang bukanlah calon yang tepat dan tidak berbobot atau tidak pantas untuk memimpin daerah. Tetapi kalau sudah terpilih oleh anggota Dewan Yang Terhormat (sekarang pemilihan langsung) mau apa lagi. –Garbage in Garbage out;, kalau yang terpilih berkualitas sampah, kepemimpinannya juga seperti sampah.

2. Kasus-kasus Pemberontakan
Dalam Negeri Sepanjang sejarah telah beberapa kali terjadi pemberontakan yang bertujuan ingin melepaskan diri dari NKRI dan merdeka (mendirikan negara sendiri), seperti: RMS di Maluku; Permesta di Sulawesi Utara; PRRI di Sumatera Brat; GAM di Aceh, dan OPM di Papua. Selain itu ada pula pemberontakan yang bertujuan mengganti ideologi Pancasila (DI/TII dan G.30.S/PKI). Namun mengapa perbedaan dan pertentangan yang melahirkan pemberontakan dapat terjadi, jawabannya boleh jadi karena kegagalan lobi dan negosiasi. Walaupun peristiwa pemberontakan tersebut berhasil ditumpas dengan senjata dalam arti penyelesaiannya menggunakan pendekatan menang-kalah (kompetitif). Sebagai contoh, bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah beberapa tahun dilakukan penumpasan dengan angkat senjata oleh TNI/Polri namun tidak tuntas, kemudian dilakukan lobi-lobi dan perundingan/negosiasi yang pada akhirnya menghasilkan persetujuan (MOU Helsinki) yang saling menguntungkan (menang-menang) suatu pendekatan kooperatif. Pendekatan kooperatif dilakukan, karena selain penerapan pendekatan kompetitif dengan memerangi GAM (yang mendapat bantuan LN?) dirasa kurang efektif juga memang cara-cara kekerasan tidak disukai oleh dunia internasional.

3. Kasus Perang Dingin Amerika Serikat – Uni Soviet Ketika Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet memuncak dan akan berubah menjadi Perang Terbuka, karena Presiden Uni Soviet mengancam akan mengangkat senjata (Perang Terbuka). Untuk menjawab tawaran berdasarkan ancaman senjata yang diperkirakan tidak akan menguntungkan Amerika, Presiden J.F. Kennedy menggertak dengan berkata: “I can’t loose ! Why ? I will tell you why. Becaouse I have knowledge, Courage and enthuasm” Dengan gertakan tersebut telah membuat dan memudarkan keinginan Soviet untuk berperang secara terbuka. Perang Terbuka tidak terjadi. Dalam kasus ini menggunakan model kompetitif (menangkalah) yaitu pihak yang menang adalah Amerika karena Perang Terbuka tidak terjadi. Namun tidak demikian halnya dengan sengketa AS dan Irak. Dalam kasus ini jelas terlihat betapa penting arti sebuah lobi. Memang di Era Globalisasi sekarang ini, kalau sesuatu perbedaan/pertikaian tidak dapat diselesaikan melalui perundingan dengan lobi-lobi yang menyakinkan, niscaya akan terjadi lagi Perang Dunia III atau setidaknya akan terulang Perang Irak (Perang Teluk) dan/atau interpensi/teror-teror lainnya. E. Penutup Setelah memahami konsep Lobi dan Negosiasi serta mencermati dan mensiasati kasus-kasus/peristiwa-peristiwa tentang beberapa perbedaan/ pertentangan dan persengketaan dalam pergaulan di tingkat lokal, nasional, dan internasional, maka dirasakan bahwa “Konsep lobi, dan negosiasi sudah menjadi suatu keharusan global; kalau tidak boleh dikatakan sebagai suatu kemutlakan.

Daftar Pustaka Alan
N. Schoonmaker, Langkah-langkah Memenangkan Negosiasi, PIM, Jakarta, 1993. Dewi Fortuna Anwar,
Lobbying dan Negosiasi, Makalah pada Orientasi Pendalaman Bidang Tugas Ketua-ketua DPRD Tingkat II se-Indonesia, Badan Diklat
Depdagri, Jakarta, 1997.
Hasnan Habib, Faktor-faktor Strategik dalam Negosiasi Internasional, Makalah dalam Seminar Sehari: “Strategi Negosiasi Bisnis di Era Globalisasi”, Kerjasama LAN dan Lembaga Bina Profesi, Jakarta, 1997.
Mufid A. Busyairi, Negosiasi untuk Mencapai Kesepakatan, Makalah pada Orientasi Pendalaman Bidang Tugas Ketua-ketua DPRD Tingkat II se-Indonesia, Badan Diklat Depdagri, Jakarta, 1997.
Yeremi G. Thorn, Terampil Bernegosiasi, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1995.

Ditulis oleh Rusly ZA Nasution
H. Rusly ZA Nasution, Drs.,S.H.,MM. adalah dosen tetap Fakultas Ekonomi dan Kepala Biro Administrasi
Kemahasiswaan Universitas Langlangbuana. Abstrak: Dalam Era Globalisasi sekarang ini,

Media Relation dalam PR

William F. Arens (1999:310) mendefinisikan Public Relations sebagai sebuah fungsi manajemen yang memfokuskan diri pada membangun/mengembangkan relasi serta komunikasi yang dilakukan individual maupun organisasi terhadap publik guna menciptakan hubungan yang saling menguntungkan. Publik yang dimaksud dari definisi di atas menurut Arens ada tujuh kategori publik, yaitu para Employees-Stockholders-Communities-Media-Government-Investment Community-Customers.

Dari pengertian tersebut tampak bahwa aktifitas Public Relations berada pada kata manajemen relasi dan komunikasi yang berujung pada terciptanya hubungan baik dengan berbagai pihak demi meningkatkan pencitraan individu atau perusahaan tersebut. Pencitraan yang terbentuk dengan baik akan memberikan dampak yang baik pula demi tercapainya tujuan-tujuan yang ditetapkan individu ataupun organisasi. Akan meraih keuntungan dari produk yang dijual karena memilliki citra yang baik. Meningkatkan kepercayaan publik terhadap individu atau organisasi dalam menjalankan bisnis.
Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi dan peranan Pubic Relations dianggap sebagai ujung tombak individu atau perusahaan yang berhadapan langsung dengan publik, baik publik yang bersentuhan langsung maupun yang tidak dengan kepentingan-kepentingan mereka terhadap perusahaan. Terhadap publik yang tidak bersentuhan langsung pun tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti sebuah informasi akan sampai di benak mereka. Perkembangan teknologi yang semakin canggih dan dampaknya pada perkembangan media massa memberikan peluang akses informasi masyarakat luas.

Public Relations Society of America (PRSA), sebuah Organisasi Public Relations yang terbentuk pada tahun 1947 di Amerika, pada tahun 2002 merumuskan aktifitas-aktifitas Public Relations.

1.Community Relations.
Hubungan publik yang memfokuskan diri pada komunitas yang berkaitan dengan keberlangsungan perusahaan. Misalnya, para pemilik lahan/tahan haruslah mendapat perhatian dan kepuasaan dari perjanjian pembelian tanah oleh perusahaan yang membutuhkan tanah mereka untuk proyek pembangunan lapangan terbang baru. Jika tidak, maka komunitas yang tidak terpuaskan ini bisa menghambat proyek yang sedang dilaksanakan.

2.Counseling.
Para profesional Public Relations hendaklah secara rutin memberikan masukan/ pertimbangan kepada pihak manajemen sebelum mereka mengambil keputusan, membuat kebijakan, membangun relasi, atau melakukan komunikasi dengan berbagai macam publik. Jajaran manajemen menyatakan kepada publik ‘apa yang mereka lakukan’ sedangkan profesional atau bagian Public Relations membantu mendefinisikan dan mempresentasikan pesan tersebut untuk sampai ke publik.

3.Development/Fundraising. Semua organisasi baik yang profit maupun non-profit dapat bertahan karena ada kontribusi dari berbagai pihak dalam bentuk waktu maupun uang. Peran Public Relations yang menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan organisasi tersebut kepada pihak-pihak yang memiliki peluang dan atau kemampuan memberikan kontribusi.

4.Employee/Member Relations.
Sebagai bagian inti dari jalannya perusahaan, tugas Public Relations untuk menciptakan hubungan-hubungan yang baik, tidak hanya sekadar pada para pekerja melainkan juga kepada keluarga pekerja. Dengan demikian akan terbentuk motivasi yang baik pula dan moral yang tinggi dari para pekerja sehingga loyal pada perusahaan.

5.Financial Relations. Investor merupakan salah satu bagian terpenting dari sumber pendanaan perusahaan. Peran Public Relations adalah membangun jembatan komunikasi antara investor-pemilik perusahaan, para pemegang saham, komunitas finansial seperti bank, dan publik. Kebanyakan dari strategi perusahaan, dalam rangka ekspansi pasar maupun akuisisi perusahaan, tergantung dari seberapa bagus hubungan-hubungan finansial yang tercipta.

6.Government Affairs. Inilah tipe aktifitas Public Relations yang memfokuskan diri menjalin hubungan dengan pihak pemerintahan. Karena sebagai perusahaan publik, tidak bisa dilepas-pisahkan hubungannya dengan pemerintahan. Bahkan untuk beberapa kasus, perusahaan yang ingin mengikuti tender proyek harus memiliki endors resmi dari pemerintah, misalnya SIUPP dan NPWP.

7.Industry Relations. Perusahaan tidak hanya menjalin relasi yang terbatas pada konsumen/pelanggan semata, melainkan juga harus menciptakan relasi yang baik dengan perusahaan lain yang secara langsung berkaitan dengan bisnis perusahaan seperti para suppliers, distributor, agen bahkan relasi terhadap perusahaan kompetitor sekaligus.

8.Issues Management. Manajemen isu melibatkan publik dalam jumlah besar demi terciptanya imej produk maupun citra dari perusahaan. Akrifitas Public Relations untuk mengembangkan manajemen isu ini sebagai bagian dari kekuatan perusahaan. Sebuah perusahaan pertambangan, sebagai misal, harus mengelola manajemen isu yang baik terhadap publik bahwa usaha yang dilakukan tidak berdampak pada kerusakan alam.

9.Media Relations. Perkembangan teknologi dan pengaruhnya terhadap bentuk-bentuk media massa memberikan pengaruh yang berarti bagi perusahaan. Liputan yang baik di media akan memberikan pencitraan yang baik pula bagi perusahaan, meningkatkan kepercayaan pelanggan dalam memakai produk perusahaan, dan akhirnya menumbuhkan minat pemodal untuk menginvestasikan modalnya pada perusahaan. Aktifitas Public Relations inilah yang menjalin relasi dengan media dan mendapatkan kepercayaan dari liputan media.

10.Marketing Communication. Kombinasi dari aktifitas menjual produk, servis, maupun ide. Iklan-iklan yang dilakukan melalui berbagai media memberikan efek yang menguntungkan pada aktifitas Public Relations. Bentuk kemasan produk yang unik dan bagaimana memajang produk di pasar merupakan terpaan dari pembentukan imej dari perusahaan yang membedakan dari perusahaan lainnya.

11.Minority Relations/Multicultural Affairs. Aktifitas Public Relations yang memfokuskan diri pada terbentuknya relasi pada kelompok minoritas yang secara langsung maupun tidak akan memberikan dampak publisitas perusahaan.

12.Public Affairs. Interaksi Public Relations yang melibatkan para ofisial dan pemimpin dari berbagai bentuk organisasi atau para pemegang kekuasaan. Relasi dengan komunitas maupun pemerintahan merupakan fokus dari aktifitas Public Relations.

13.Special Events and Public Participant. Aktifitas langsung yang melibatkan publik dan dilakukan oleh Public Relations untuk menjalin interaksi antara organisasi/perusahaan dengan publik.

Dari rumusah tersebut jelas bahwa posisi Media Relations menempati bagian terpenting dari aktifitas Public Relations. Bahwa Media Relations merupakan corong atau penyuara perusahaan untuk menjangkau publik melalui media.

Definisi dan Fungsi Media Relations
Mengutip definisi PRSSA, Stanley J Baran (2004, 361) mendefinisikan Media Relations sebagai “…the public relations professional maintain good relations with professionals in the media, undestrand their deadlines and other restraints, and earn their trust”.

Philip Lesly (1991:7) memberikan definisi Media Relations sebagai hubungan dengan media komunikasi untuk melakukan publisitas atau merespon kepentingan media terhadap kepentingan organisasi.

Yosal Iriantara (2005:32) mengartikan Media Relations merupakan bagian dari Public Relations eksternal yang membina dan mengembangkan hubungan baik dengan media massa sebagai sarana komunikasi antara organisasi dengan publik untuk mencapai tujuan organisasi.


Tampak bahwa pengertian Media Relations berdasarkan pada relasi antara individu atau organisasi/perusahaan dengan media. Sehingga dapat disimpulkan pengertian Media Relations adalah relasi yang dibangun dan dikembangkan dengan media untuk menjangkau publik guna meningkatkan pencitraan, kepercayaan, dan tercapainya tujuan-tujuan individu maupun organisasi/perusahaan.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perusahaan mengunakan media massa sebagai medium penyampai pesan dan pencitraan kepada publik. Semakin banyak akses yang didapat publik dari media massa berkaitan dengan produk atau layanan yang diberikan oleh perusahaan, maka diharapkan semakin besar tingkat kepercayaan publik. Pada akhirnya publik akan memakai produk atau jasa perusahaan yang dipublikasikan media; atau setidaknya, publik dapat menjadi saluran kembali yang secara tidak langsung mempromosikan produk atau jasa kepada komunitasnya melalui word of mouth.
Pada dasarnya, banyak pilihan saluran komunikasi atau media yang bisa dipakai perusahaan dalam menyampaikan pesan. Dalam kajian komunikasi massa ada empat saluran komunikasi, yaitu media antarpribadi, media kelompok, media massa, dan media publik.
Sebagai saluran komunikasi, media massa memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan media lainnya. Hafied Cangara (2003: 134-135) memaparkan lima karakteristik media massa. Pertama, bersifat melembaga, pihak yang mengelola media melibatkan banyak individu mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi. Kedua, bersifat satu arah. Ketiga, jangkauan yang luas, artinya media massa memiliki kemampuan untuk menghadapi jangkauan yang lebih luas dan kecepatan daris egi waktu. Juga, bergerak secara luas dan simultan di mana dalam waktu bersamaan informasi yang disebarkan dapat diterima oleh banyak individu. Keempat, pesan yang disampaikan dapat diserap oleh siapa saja tanpa membedakan faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, suku bangsa, dan bahkan tingkat pendidikan. Kelima, dalam penyampaian pesan media massa memakai peralatan teknis dan mekanis.
Melihat skema tersebut jelas terlihat bahwa masing-masing saluran komunikasi akan memberikan hasil dan dampak tersendiri. Namun, kecepatan menjangkau publik hanya bisa dilakukan oleh media massa. Sedangkan ketika perusahaan yang terlibat dalam krisis, seperti kasus Johnson & Johnson, memerlukan kecepatan untuk menginformasikan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang telah perusahaan lakukan kepada publik yang lebih luas.
Contoh kasus bagaimana peranan Media Relations begitu penting terjadi pada perusahaan farmasi terkemuka Johnson & Johnson. Pada tahun 1982, perusahaan ini menguasai lebih dari 36 persen perdagangan obat pusing kepala di seluruh Amerika. Produk Tylenol merupakan produk unggulan dan telah menghabisakan dana kampanye produk hingga jutaan dolar. Namun, suatu ketika Tylenol terkontaminasi dengan racun sianida dan tragisnya tujuh orang mati setelah meminum obat tersebut di Chicago. Dalam waktu singkat, jajaran manajemen dan bagian public relations Johnson & Johnson melalukan serangkaian tindakan cepat: menghentikan produksi dan distribusi Tylenol, menarik produk dari pasar, meluncurkan kampanye masif yang memintta konsumen menukar Tylenol dengan produk yang lebih aman, hingga memanggil 50 karyawan bagian public relations untuk menjadi staf di pusat pemberitaan.
Meski langkah-langkah telah diambil untuk mengantisipasi tidak meluasnya efek berbahaya obat sakit kepala produksi mereka, namun ada satu kekhawatiran besar yang siap menghadang, yaitu bagaimana memulihkan kepercayaan publik untuk memakai produk-produk, khususnya Tylenol, yang dikeluarkan oleh Johnson & Johnson. Untuk mengantisipasi masalah ini pihak Johnson & Johnson akhirnya menggunakan jasa agen public relations Burson-Masteller. Johnson & Johnson pun melakukan kampanye media dengan memanfaatkan penghargaan media atas sikap terbuka perusahaan selama menangani krisis, mengundang lebih dari 600 jurnalis dari 30 kota besar untuk menghadiri telekonferensi video, mengirimkan 7.500 media kit ke kantor-kantor berita sebelum telekonferensi, melatih jajaran eksekutif perusahaan agar dapat tampil mengesankan dan berkomunikasi yang baik ketika berhadapan dengan wartawan, dan mendistribusikan 80 juta kupon gratis yang dapat ditukarkan dengan produk Tylenol yang baru.
Rangkaian kegiatan tersebut menghabiskan dana dan melibatkan para pekerja yang tidak sedikit. Lalu, apa hasilnya? Langkah yang dilakukan Johnson & Johnson mendapat liputan media yang luas, mulai dari jaringan radio, koran, majalah, hingga televisi. Hanya dalam waktu satu tahun Johnson & Johnson berhasil kembali menguasa penjualan obat pusing kepala dan menarik kembali 80 persen pangsa pasa sebelumnya. Bahkan keuntungan mereka menjadi naik dari sebelumnya hanya sekitar $520 juta pertahun menjadi $670 juta per tahun.
Kasus yang menimpa Johnson & Johnson ini menegaskan bahwa media memiliki peran serta fungsi yang sangat penting bagi perusahaan. Pertama, fungsi media relations dapat meningkatkan citra perusahaan. Kedua, meningkatkan kepercayaan publik terhadap produk dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan. Ketiga, meningkatkan point of selling dari produk dan jasa. Keempat, membantu perusahaan keluar dari komunikasi krisis. Kelima, meningkatkan relasi dari beragam publik, seperti terhadap lembaga pemerintahan, perusahaan-perusahaan, organisasi kemasyarakatan, maupun individu.
Fungsi-fungsi inilah yang menempatkan media relations sebagai bagian dari aktifitas public relations. Bahkan John Vivian (2008, 344) memberikan perhatian khusus pada posisi media relations. Bahwa public relations memiliki tiga tanggung jawab fungsional;
1. Relasi Eksternal. Komunikasi yang dijalin dengan kelompok orang-orang di luar perusahaan, konsumen, dealer, supplier, tokoh masyarakat, orang-orang pemerintahan.
2. Relasi Internal. Komunikasi yang dikembangkan untuk menjaga hubungan optimal antara karyawan, manajer, serikat pekerja, pemegang saham, dan kelompok internal lainnya.
3. Relasi Media. Komunikasi yang dilakukan perusahaan dengan media massa.

Kesimpulannya : Media Relations adalah relasi yang dibangun dan dikembangkan dengan media untuk menjangkau publik guna meningkatkan pencitraan, kepercayaan, dan tercapainya tujuan-tujuan individu maupun organisasi/perusahaan. Fungsi media relations adalah meningkatkan citra perusahaan, meningkatkan kepercayaan publik, meningkatkan point of selling, membantu perusahaan keluar dari komunikasi krisis, dan meningkatkan relasi dari beragam publik.

Chatra, Emeraldy dan Nasrullah, Rulli, Public Relations Strategi Kehumasan dalam Menghadapi Krisis, Bandung: Maximalis, 2008
Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003
Baran, Stanley J., Introduction to Mass Communication, Media Literacy and Culture, New York: McGraw-Hill, 2004
Iriantara, Yosal, Media Relations; Konsep, Pendekatan, dan Praktik, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005
Lesly, Philip, Lesly’s Handbook of Public Relations and Communication, Chicago, Ill.: Probus Publishing Company, 1991
Vivian, John, Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Kencana, 2008

Peran Corporate Secretary sebagai Penjaga Gawang Good Corporate Governance

Oleh : Mas Achmad Daniri dan Dadi Krismatono

Salah satu elemen dalam struktur dan proses Good Corporate Governance (GCG) adalah pemastian bahwa penggunaan wewenang (exercise of power) dan hubungan dengan pemangku kepentingan (stakeholders) berjalan dengan baik untuk kepentingan perusahaan. Dalam menjaga proses tersebut dibutuhkan suatu unit yang berfungsi sebagai fasilitator pengambilan keputusan secara proper dan saluran komunikasi yang terpercaya. Disinilah posisi strategis sekretaris perusahaan (corporate secretary), yaitu menjalankan fungsi memastikan kepatuhan dan administrasi pengambilan keputusan didalam perusahaan, dan melakukan fungsi komunikasi dalam rangka membangun goodwill keluar perusahaan.

Dari sisi governance structure, fungsi Corporate Secretary merupakan kepanjangan fungsi Direksi dalam menjalankan fungsi komunikasi. Pedoman Umum GCG 2006 yang diterbitkan oleh Komite Nasional kebijakan Governance memetakan lima fungsi direksi, yaitu: (1) kepengurusan; (2) manajemen risiko; (3) pengendalian internal; (4) komunikasi; dan (5) tanggung jawab sosial.

Masuk dalam fungsi komunikasi tersebut, terdapat peran Corporate Secretary, yaitu untuk memastikan kelancaran komunikasi antara perusahaan dengan pemangku kepentingan, serta menjamin tersedianya informasi yang boleh diakses oleh stakeholders sesuai dengan kebutuhan yang wajar dari stakeholders. Corporate Secretary bertanggung jawab kepada Direksi dan laporan pelaksanaan tugasnya juga disampaikan kepada Dewan Komisaris.

Kalau kita kaji lebih dalam, maka paling tidak ada 4 hal yang menjadi tugas utama Corporate Secretary.

Office of the Board
Corporate secretary memiliki tugas dalam penatalaksanaan office of the board yang mencakup pemastian ketersediaan informasi dalam pengambilan keputusan oleh Dewan Komisaris dan Direksi. Pengambilan keputusan yang baik juga didukung oleh usaha Corporate Secretary memastikan kehadiran peserta rapat agar quorum dapat tercapai sehingga keputusan yang dihasilkan legitimate dan kredibel. Bagi perusahaan yang cukup besar dan kompleks, sebaiknya Dewan Komisaris dan Direksi memiliki sekretariatnya masing-masing untuk mengadministrasikan pelaksanaan dan pendokumentasian keputusan rapat. Pendokumentasian ini penting sebagai salah satu bukti pendukung, apabila suatu ketika perusahaan menghadapi kondisi sulit akibat suatu kebijakan perusahaan ataupun untuk keperluan Direksi/Dewan Komisaris menghadapi tindakan hukum.

Compliance
Kepatuhan perusahaan terhadap peraturan merupakan pondasi penting GCG. Untuk itu, Corporate Secretary harus selalu memutakhirkan informasi tentang peraturan atau regulasi yang harus dipatuhi oleh perusahaan berikut pengadministrasiannya. Corporate Secretary juga bertanggung jawab menyampaikan informasi tindakan perusahaan (corporate action) kepada regulator yang berkepentingan. Dalam rangka menjalankan fungsi kepatuhan, Corporate Secretary perlu menjalankan fungsi government relations yang bertujuan untuk menciptakan dan memelihara goodwill perusahaan dimata regulator. Tentu fungsi government relations ini harus berada dalam koridor kepatutan dan etika bisnis.

Investor Relations
Investor merupakan stakeholders strategis yang keputusannya sangat dipengaruhi oleh kualitas dan ketepatan waktu (timeliness) dari informasi yang diterimanya. Corporate Secretary dapat membantu memastikan informasi material tersampaikan kepada investor pada waktu yang tepat. Informasi pada waktu yang tidak tepat dapat menguntungkan sebagian pihak secara tidak wajar dan melawan hukum karena memungkinkan terjadinya self dealing, insider trading, penyesatan informasi dengan sengaja, atau perbuatan tidak etis lainnya. Salah satu bentuk praktik investor relations adalah penyelenggaraan RUPS dan penyiapan Laporan Tahunan. Pelaksanaan RUPS dan Laporan Tahunan secara legal merupakan tanggung jawab Direksi, namun Corporate Secretary sebagai kepanjangan fungsi Direksi, bertugas menyiapkan operasional pelaksanaan RUPS agar dapat berlangsung dengan baik dan menghasilkan keputusan yang diperlukan oleh perusahaan. Kualitas informasi merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap stakeholders, dan dalam hal ini Corporate Secretary perlu membangun komunikasi yang baik dengan komunitas pasar modal, khususnya para analis รข€“ karena ulasan analis yang didasarkan pengungkapan informasi yang layak merupakan salah satu akses investor terhadap informasi, yang juga berpengaruh pada pengambilan keputusan investasi.
Corporate Communications
Membangun corporate citizenship dan stakeholders engagement merupakan prasyarat bagi kelangsungan hidup perusahaan. Disini, Corporate Secretary membantu pelaksanaan program perusahaan dalam memenuhi tanggung jawabnya sebagai bagian dari elemen negara dan masyarakat, serta pemberdayaan stakeholders. Dengan strategi komunikasi perusahaan yang baik, interaksi antara perusahaan dengan stakeholders akan berjalan baik dan pada gilirannya akan memberi kontribusi bagi kinerja bisnis. Perlu diperhatikan bahwa Corporate Secretary tidak harus terjun terlalu teknis dalam aktivitas komunikasi perusahaan. Mengingat fungsinya sebagai playmaker, maka Corporate Secretary menjaga konsistensi pesan dan citra yang ingin disampaikan kepada masyarakat seraya menjaga agar informasi yang disampaikan tidak melanggar hukum.

Komite Nasional Kebijakan Governance (”KNKG”) (www.governance-indonesia.com) didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan good governance di Indonesia, sekaligus memberikan masukan kepada pemerintah tentang isu-isu governance, baik di sektor publik maupun korporasi. Visi KNKG adalah untuk membawa Indonesia menjadi negara dengan pelaksanaan good governance yang baik, dan dengan misi untuk memelopori dan meningkatkan efektifitas aplikasi good governance di Indonesia dalam rangka membangun budaya di mana prinsip-prinsip good governance diinternalisasikan guna mewujudkan iklim bisnis yang sehat. Untuk mencapai hal ini, KNKG melakukan kajian dan memberikan rekomendasi untuk memperkaya hukum dan peraturan yang ada dengan prinsip-prinsip good governance serta memformulasikan dan mensosialisasikan panduan governance.